15 Mar 2008

Jualan Selular ala Sachet







Fenomena yang menarik memang selalu ditunggu orang, apalagi jika fenomena itu hadir membawa keberuntungan. Seperti yang terjadi dalam bisnis penjualan pulsa atau voucher yang kian ditawarkan dengan denominasi rendah. Semisal seperti yang ditawarkan oleh Indosat dan Excelcom yang sudah mempopulerkan denominasi voucher mulai dari Rp 75 ribu, Rp 50 ribu, dan Rp25 ribu. Secara bersamaan paket perdana pun dijual dengan harga ekstra miring alias murah meriah.


Alhasil banyak orang yang bertanya, apa gerangan terjadi dalam bisnis operator selular ? “Nampak jelas bisnis selular memasuki babak sachet marketing, ibaratnya menjual kartu perdana sama dengan konsep menjual sebuah sachet shampo”, ujar Kusnadi Sukarja, direktur Sales & Marketing Consumer Solution Excelcom. Jadi jelas konsep marketing nya pun benar-benar mengikuti prinsip menjual sachet shampo. Ujung-ujung nya paket perdana yang biasa dijual di gerai-gerai, kini sudah merambah ke level asongan atau kaki lima. Coba saja Anda naik bus kota di Jakarta atau kereta api Jabotabek, setiap hari cukup banyak pengasong yang menjual peket perdana, tak ubahnya seperti menawarkan makanan ringan.


Sachet marketing nyatanya tidak berhenti pada pola penjualan paket perdana . Voucher dengan denominasi yang bernilai kian rendah juga merupakan bagian tidak terlepaskan dari fenomena sachet marketing. Ambil contoh Excelcom yang baru-baru ini mengeluarkan voucher teringan Rp 10 ribu, dimana sebelumnya denominasi teringan adalah voucher Rp 25 ribu, yang sudah dipasarkan oleh Excelcom dan Indosat. Kusnadi Sukarja berharap denominasi voucher yang rendah dapat memudahkan pelanggan untuk membeli pulsa. “Kita yakin denominasi ringan dapat membatu buat segmen pelanggan yang berpenghasilan rendah”, ungkap Kusnadi Sukarja.


Hadirnya sachet marketing tidak terlepas dari tingkat persaingan industri selular yang semakin tinggi. Bahkan di kota besar seperti Jakarta, diakui oleh beberapa petinggi operator sudah memsuki titik jenuh. Sachet marketing buat jangka pendek bisa dijadikan solusi bisnis, pasar dibanjiri dengan ribuan kartu perdana murah sudah jelas bisa men dongkrak jumlah pelanggan. Sedang di sisi lain pelanggan ditawarkan voucher denominasi rendah dengan ciri masa aktif singkat, yang pada akhirnya dapat mendorong percepatan transaksi pulsa yang tinggi. Harapannya tentu tidak lain ARPU bisa tergenjot dimasa sulit ini.


“Tapi jangan yakin dulu, belum tentu pelanggan bertambah pesar diikuti meningkatnya ARPU. Jumlah pelanggan selular belakangan ini memang meningkat drastis, tapi ini juga mengkhawatirkan buat operator, sebab pertambahan drastis tadi bisa jadi disebabkan oleh pelanggan ‘bodong’ alias pelanggan selular musiman yang memanfaatkan beli buang paket perdana,” ungkap Johnny Swandi Sjam, ketua umum ATSI (Asosiasi Telepon Seluler Indonesia).


Menurut Johnny Swandi pola yang diterapkan tidak lebih dari implementasi sistem subsidi. “Jika di luar negeri operator men subsidi ponsel, maka di Indonesia operator mensubsidi penjualan kartu,” ujar Johnny. Tetapi pola subsidi tersebut mempunyai risiko yang tinggi, pertama faktor akuisisi pelanggan, dan risiko atas investasi dari modal subsidi tersebut. Kusnadi Sukarja pun mengakui adanya faktor risiko yang tinggi, “tetapi mana ada bisnis yang bisa dijalankan tanpa risiko saat ini,” ungkap Kusnadi.


ARPU vs AMPU
Jika ditilik secara keseluruhan, performa perusahaan merupakan harga mati. Dimana barometer yang cukup penting dalam pengukuran nya adalah ARPU. Namun apakah ARPU merupakan parameter pengukuran performa terbaik ? Jawaban nya bisa beragam. Menurut Nigel Deighton, vice president lembaga riset Gartner menyebutkan bahwa operator dengan ARPU naik belum tentu merefleksikan tingkat profit yang juga naik.Begitu pula jika ARPU turun belum tentu perusahaan tersebut merugi. “Bisa saja ARPU terlihat naik, namun setelah dikurangi dengan biaya yang diperlukan untuk menghadirkan layanan tersebut ternyata biaya nya lebih besar dari pada revenue yang didapat, begitu pun berlaku sebaliknya” ungkap Indra Gunawan, pengamat telekomunikasi dari Jakarta.


Jane Zweig, Chief Executive Officer Shosteck Group, lembaga riset dari Amerika Serikat menyebutkan bahwa AMPU dapat menjadi sistem perhitungan yang lebih baik untuk melihat performa suatu operator. AMPU dihitung berdasarkan total seluruh biaya per periode dibagi dengan jumlah subscriber. Dari sini bisa dilihat hasil ARPU belum tentu sejalan hasil AMPU. Beberapa pengamat mengatakan operator lokal kurang tertarik untuk mem publish AMPU, sebab AMPU bisa jadi “menelanjangi” mereka.


Di sisi lain Johnny Swandi mengatakan perhitungan ARPU memang jauh lebih mudah ketimbang menghitung AMPU, sebab komponen biaya cukup banyak. Namun bukan berarti hasil AMPU disembunyikan. Dengan data-data laporan keuangan sebenarnya dipersilahkan untuk menganalisa performa operator dari sudut ARPU dan AMPU. “Jadi belum bisa dikatakan AMPU lebih baik ketimbang ARPU, semua tergantung dari kepentingan yang melihatnya saja,” ujar Johnny.


(Jun04)

Tidak ada komentar: