18 Mar 2008

Apa Arti Standarisasi Ponsel ?











Ternyata standarisasi itu penting bagi ponsel, apa sajakah yang menjadi parameter sehingga menjadi kaharusan di setiap negara ?


Tahukah Anda bahwa ponsel yang sehari-hari kita genggam umumnya mempunyai riwayat perjalanan yang unik. Walau tentu bukan perjalanan yang aneh. Sebagai layaknya produk eletronik ponsel yang kita pergunakan wajiblah memenuhi unsur standarisasi sebelum dapat dipasarkan. Tentu nya ini tidak berlaku bagi kategori ponsel BM (Black Market) yang dijual tanpa izin. Walau peredaran ponsel tidak sedikit, namun pasar secara jelas masih didominasi oleh ponsel berkategori resmi, atau yang masuk lewat uji standarisasi. Sebagai perbandingan, Muhadi Noor, ketua APTEG (Asosiasi Pedagang Telepon Genggam) di Roxy pernah menyebut untuk pasar ponsel BM di Roxy peredarannya dapat mencapai sekitar 30 persen dari total penjualan ponsel secara keseluruhan. Artinya ponsel bergaranasi resmi masih cukup dominan dengan 70 persen penjualan.

“Ponsel sebagai bagian dari perangkat telekomunikasi memang diwajibkan untuk dilakukan uji standariasai dan diterbitkan sertifikat pada setiap tipe yang dikeluarkan”, ujar Inggrid R Panjaitan, direktur standarisasi Ditjen Postel. Hal ini merujuk pada Undang-Undang Telekomunikasi No. 36/Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa setiap perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat, dirakit, dimasukkan atau digunakan di wilayah RI wajib memperhatikan persyaratan teknis. Untuk itu Ditjen Postel memberlakukan sistem standarisasi pada perangkat yang terkait, yang tentunya bukan hanya perangkat ponsel saja. Sudah pasti unsur yang terkait dalam hal standarisasi ialah vendor, regulator (Ditjen Postel), dan konsumen.

Yang cukup sibuk menanti hasil standarisasi dan sertifikasi tentu saja para vendor. Bayangkan pemunculan ponsel belakangan ini terbilang lumayan deras, rata-rata setiap bulan ada 2 hingga 3 tipe ponsel yang diluncurkan. Ponsel-ponsel keluaran Nokia, Samsung, Sony Ericsson, Motorola dan LG pemunculan tipe barunya terkesan amat cepat, dan terlihat saling berkompetisi. Bahkan ada kesan untuk saling mendahului. Tentu prosedur ideal dapat sertifikat dahulu baru kemudian mulai jualan, tetapi kenyataan sebaliknya. “Deretan daftar tunggu ponsel yang akan distandarisasi cukup panjang, sedang kapasitas uji ponsel setiap bulannya hanya berkisar 6 sampai 7 ponsel saja”,papar H.M Munzaer, kepala Balai Pengujian Peralatan Telekomunikasi Ditjen Postel.

Proses pengujian sendiri maksimal membutuhkan waktu 45 hari, walau umumnya mampu dilaksanakan waktu pengujian sekitar 1 sampai 3 minggu per jenis ponsel, tergantung pada banyak volume yang di test setiap bulannya. Jika ponsel telah lulus uji juga diharuskan menunggu pengesahan sertifikasi yang membutuhkan waktu kurang lebih 10 hari. Jelas hal ini membuat manuver penjualan vendor menjadi kurang lincah, jika membutuhkan waktu selama itu. Untuk menyiasati nya beberapa vendor ponsel biasanya meminta surat keterangan bahwa ponsel sedang dalam masa uji dari Ditjen Postel, sehingga dapat dipasarkan tanpa harus menunggu sertifikasi terlebih dahulu. Walau sebenarnya sedikit agak menyimpang dari prosedur.

HM. Munzaer mengatakan bahwa kadang pihaknya sering cukup kewalahan dalam menerima “order” pengujian, terutama saat menjelang hari raya dimana volume launching produk sangat deras. Balai uji sendiri tidak hanya menangani pengujian ponsel saja, diantara yang ditangani ialah uji perangkat cordless phone, perangkat komunikasi radio, perangkat daya rendah, wireless LAN, telepon satelit. Namun dari volume perangkat yang diuji ponsel jelas menduduki peringkat tertinggi dan cenderung meningkat terus dari tahun ke tahun. Munzaer menyebutkan tahun 2001 terdapat 45 jenis ponsel yang di uji, meningkat 49 jenis pada tahun 2002, dan hingga bulan April 2003 telah 39 jenis ponsel yang dlakukan uji. Tetapi juga harus diakui cukup banyak ponsel yang beredar di pasar tanpa melalui uji standarisai, ponsel tersebut yang dinamakan ponsel BM. Akibat dari beberapa gelintir pedagang atau distributor yang tidak mau repot atau ambil pusing dalam berdagang.

“Tahap pengujian merupakan kewajiban bagi setiap ponsel yang akan digunakan di Indonesia, banyak manfaat dari pengujian diantara nya ialah menjamin mutu perangkat komunikasi yang beredar, menjamin interoperabilitas dan interkonektivitas berbagai perangkat dalam jaringan komunikasi, mencegah saling ganggu antar alat dan perangkat telekomunikasi, dan melindungi masyarakat dari kerugian penggunaan perangkat telekomunikasi”,ujar Inggrid Panjaitan. Ditambahkan oleh Inggrid untuk biaya uji ponsel juga telah ditetapkan berdasarkan jenis yang dipasarkan. Untuk setiap jenis ponsel yang diuji dikenakan biaya Rp 4 juta, dan biaya sertifikasi Rp 1,5 juta. Total biaya yang dikeluarkan vendor per produknya ialah Rp 5,5 juta. Tentu bukan jumlah yang besar jika dipandang oleh vendor-vendor. Konon biaya-biaya tersebut akan disesuaikan dalam waktu deka. Biaya uji tetap, sedang biaya sertifikasi naik menjadi 3 juta per tipe.

Pemasukan dari standariasi ponsel sudah pasti terus meningkat, menurut Inggrid pada tahun 2002 terget pemasukan Rp 600 juta, sedang pemasukan real mencapai Rp 1,2 milyar. Sedang tahun 2003 sampai bulan April pemasukan telah mencapai Rp 720 juta. Dahulu pemasukan juga didapat dari penerapan label uji oleh Ditjen Postel, yang kini tidak diterapkan lagi. “Saat ini labelisasi mekanisme nya diserahkan pada para vendor, tetapi disayangkan beberapa ada yang tidak menggunakan dengan alasan tidak mampu atau terlalu sibuk, padahal manfaatnya ada, yakni masyarakat menjadi lebih yakin dengan produk yang dibeli”, ujar Munzaer. Bagaimana dengan soal pungutan ? “Kalau pun ada pungutan perihal label tentu juga dimaksudkan untuk masuk ke kas negara”, lanjut Munzaer.


Apa Saja yang Diuji ?
Di Indonesia terdapat dua lokasi balai uji perangkat telekomunikasi. Untuk perangkat kabel (wireline) dilaksanakan oleh Telkom Divisi Risti (Riset dan Teknologi) yang bertempat di Bandung. Kemudian untuk perangkat telekomunikasi selular/nirkabel (wireless) dilaksanakan oleh Balai Uji yang dimiliki oleh Ditjen Postel resmi digunakan sejak 17 Mei 1999, dan berlokasi di Jl. Bintara Raya 17A, Bekasi. Parameter yang diuji dalam setiap ponsel ialah uji transmisi pada daya pancar, frekuensi, stabilitas frekuansi, dan emisi spurious. Munzaer mengatakan persoalan frekuansi sangat penting sebab pengawasan frekuensi dilakukan agar antar perangkat tidak saling menggangu, kemudian power, dan pengawasan emisi, gunanya agar sinyal elektromagnetik yang dikeluarkan ponsel tidak mengganggu kesehatan.

Sebagai contoh ponsel yang baik ialah yang memiliki power class maksimum 33 dBM (desibel meter) untuk frekuensi GSM900 Mhz, dan 30 dBm untuk frekuensi GSM1800 Mhz. Cukup banyak perangkat uji yang dipergunakan, diantaranya ialah Digitall Radio Communication Tester. Standarisasi yang dilakukan juga telah mengacu pada ISO 17020, ETSI (European Telecomunication Standard Institut), dan ITU (International Telecommunication Union). Kelengkapan Balai uji saat ini mencakup fasilitas laboratorium kalibrasi, laboratorium radio, dan laboratorium EMC (Electronic Magnetic Compability).

Memang diakui standarisasi menjadi sesuatu yang sangat penting, di beberapa negara sendiri pengujian ponsel sendiri sudah lebih maju, seperti di Singapura. Tetapi tantangan berat pun semakin menanti, dan kerap mengundang kritik. Seperti waktu uji yang terlalu lama, perkembangan teknologi yang demikian cepat, dan kuantitas plus kualitas SDM. Indra Gunawan, produk management Siemens Mobile mengatakan bahwa adanya balai uji memang positif, tetapi jumlah SDM dipandang terlalu kecil, dari jumlah pegawai 27 orang di Balai uji, hanya 6 orang saja yang bertugas sebagai penguji.

(Jul03)

Tidak ada komentar: