19 Mar 2008

Dibalik Eksistensi m-Banking














Hasil inovasi teknologi umumnya membawa reaksi yang beragam, apalagi jika itu berkaitan dengan hajat publik. Dimana kadang proses adaptasinya sering melahirkan kontroversi, baik mungkin disebabkan produk yang diluncurkan kurang siap, atau tidak menutup kemungkinan disebabkan oleh pemahaman yang belum merata di mata masyarakat. Contohnya awal dari kebangkitan e (electronic)-commerce yang ditandai oleh munculnya ATM (anjungan tunai mandiri). Boleh dikata adaptasi ATM lumayan membutuhkan waktu yang tidak terlalu cepat, padahal telah diluncurkan sejak delapan tahun lalu. Dengan kondisi mayoritas penduduk yang masih konservatif membuat nafas e-commerce berjalan pelan.

Saat ini kecenderungan semakin padatnya aktivitas, terutama di kota-kota besar membuat e-commerce dan turunannya yaitu m (mobile) commerce menjadi pilihan yang cukup diperhitungkan dalam transaksi perdagangan. Dalam perkembangan dan kebutuhan yang terus berjalan, layanan m-commerce dikenal lebih dekat lagi sebagai m-banking. Sudah bukan rahasia jika peran perbankan menjadi tulang punggung perekonomian bangsa, dan sukses kinerja bank juga tidak lepas dari dukungan telekomunikasi. Selain sistem komunikasi kabel yang mutlak dibutuhkan, komunikasi berbasis selular nyatanya telah memberi andil yang cukup penting. Tidak hanya membangun image perbankan, melainkan operator selular juga ikut merasakan betapa besar potensi yang dapat diraih dari sektor m-banking.

Gejala m-banking pun saat ini telah meningkat dari hari ke hari, sejak diluncurkan pertama kali oleh Excelcom pada akhir 2001 respon yang didapat juga beragam. Kini hampir setiap operator terlibat dalam aplikasi m-banking dengan berbagai mitra bank nasional yang terus bertambah. Pengguna yang pada awalnya didominasi kaum pebisnis, kini juga telah banyak digunakan oleh kalangan muda. Seperti model dan bintang sinetron Vony Cornelia, 22 tahun juga menggunakan layanan m-banking dari salah satu bank besar. Vony mengatakan layanan m-banking jelas sangat bermanfaat, sebab dapat dilakukan kapan dan dimana saja, seperti yang paling banyak digunakan orang ialah cek saldo. Namun untuk transfer Vony mengaku lebih merasa safe menggunakan ATM, sebab langsung menerima struk.

Namun dibalik itu masih sangat banyak kalangan masyarakat yang kurang sreg dengan layanan m-banking. Sudah bukan rahasia bahwa cukup banyak cerita yang intinya menyangsikan m-banking. Seperti, “bagaimana jika uang yang ditransfer tidak sampai terkirim, atau bagaimana aspek security nya”. Itu baru sebagian yang terpikirkan di benak orang, dan sebenarnya wajar saja kekhawatiran orang-orang. Pasalnya mekanisme yang digunakan ialah berbasis SMS (short message service), sedang SMS sendiri pada waktu tertentu kualitasnya kurang baik, alias sering terjadi pending, dan gagal terkirim.

Disinilah muncul perdebatan seputar m-banking, “keraguan banyak orang menjadi penghambat yang cukup serius, khususnya di Indonesia”, ujar Agung B. Laksono, GM VAS Excelcom. Agung menambahkan dibutuhkan paling tidak dua sampai tiga tahun untuk mengedukasi masyarakat tentang manfaat m-banking. Menurut Agung itu lumayan cepat jika dibandingkan adaptasi layanan ATM. Walau menyisakan banyak keraguan, perihal pengaduan keluhan konsumen terhadap m-banking masih tergolong kecil. “Sampai Maret tahun ini baru tercatat dua keluhan dari konsumen seputar m-banking, meski jumlahnya kecil tapi diyakini lebih banyak orang yang tidak melapor”, ujar Sularsi, bagian pengaduan perbankan YLKI. Sularsi menambahkan umumnya pelapor mengeluhkan notifikasi yang diterima setelah melakukan transfer.

Kebanyakan dari mereka bingung untuk melapor pada siapa, bayangkan jika transfer ditujukan pada mitra di luar kota, pasti akan terjadi kepanikan. “Sebenarnya sistem billing transfer yang digunakan pada m-banking tidak berbeda dengan yang digunakan di ATM, hanya media yang digunakan berbeda sehingga saat bukti transfer juga akan tercetak di buku tabungan”, ujar Robertus K. Banowski, assistant manager m-banking Bank Panin.

Inti kasus yang terjadi sebenarnya ialah ketidaknyaman dari pengguna, dimana notifikasi transfer merupakan hal yang cukup sensitif bagi pengguna. Hinca Ikara Panjaitan, praktisi hukum telekomunikasi mengatakan bahwa dalam m-banking yang seharusnya menjadi perhatian adalah formulasi bentuk pertanggungjawaban. Baik operator selular dan perbankan sebenarnya telah masuk ke wilayah publik, dimana peran regulator atau pemerintah sebaiknya dapat lebih aktif. “Bayangkan lalu lintas transaksi tersebut menyangkut jumlah uang beredar yang begitu banyak, apalagi menggunakan infrastruktur telekomunkasi yang banyak digunakan publik”, ujar Hinca. Jika terjadi kolaps tentu pemerintah juga yang harus bertanggungjawab.
Untuk itu Hinca mengusulkan agar dibuat badan regulator independen yang terdiri dari wakil dari Bank indonesia, Departemen Keuangan, dan Ditjen Postel.

Sampai saat ini belum ada peraturan yang secara spesifik mengenai jenis transaksi ini. Untuk membuat undang-undang atau peraturan sudah pasti memerlukan biaya besar, dan dikhawatirkan hanya akan mubazir. “Untuk itu jika nantinya dibentuk badan regulator sebaiknya dapat berganti setiap tiga bulan”, tambah Hinca.

Sedang Sartono Mukadis, mantan staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia memberikan tanggapan seputar m-banking dari sisi budaya. Manurut Sartono m-banking atau yang lainnya merupakan bagian dari perkembangan teknologi yang tidak bisa dihindari. Teknologi terus berjalan seperti deret ukur sedangkan budaya bergerak seperti deret hitung. Ini tak bisa ditolak karena masyarakat memang menuntut segala sesuatu yang lebih praktis dan efisien. Adanya layanan apa saja yang berbasis teknologi merupakan akibat dari revolusi dan evolusi cara berpikir yang mengambil jalan tengah. Hanya saja mungkin bagi generasi sebelumnya selalu saja ada stereotip terhadap teknologi atau mungkin apatis terhadap perkembangannya itu sendiri. Kadang budaya konvensional seperti menabung dan mengambil uang antri di teller dari bagi sebagian orang tua lebih nyaman daripada menarik uang atau transfer dari ATM. Begitu juga kini, ketika ada m-banking.

Saat ini yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah penjabaran dari UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 pasal 4, yang menjelaskan tentang hak end user. Disitu dijelaskan hak bagi konsumen untuk mendapatkan untuk mendapatkan informasi yang benar dan jujur, hak untuk mendapat edukasi, hak untuk mendapatkan ganti rugi, dan hak untuk mendapatkan kemudahan dan kenyamanan. Dari situ jelas bahwa pemain di bisnis m-banking harus membuat aturan yang jelas, selain edukasi melalui iklan yang memberi manfaat pengetahuaan bagi konsumen, sehingga terdapat pemahaman yang merata.

Baik Hinca dan Sartono sama-sama berpendapat bahwa diperlukan waktu dan edukasi yang tepat agar m-banking dapat diaplikasikan masyarakat luas. Keduanya juga berpendapat bahwa sistem dan teknologi tidak pernah salah, yang salah ialah cara pemanfaatannya. Contohnya seperti teknologi itu tak ubahnya seperti pisau. Jika tak bisa digunakan dengan sebenarnya justru akan menjerumuskan sendiri. Perkembangan internet, siapa yang mengira internet justru lebih populer karena layanan pornografinya dibandingkan kecanggihannya. Kini, mobile banking perlu waktu bagi banyak masyarakat awam untuk mengerti sejauh itu. Bisa dibuktikan, penggunan m-banking masih sedikit sekali. Ini propaganda yang dikeluarkan dari teknologi terkadang tidak membuat sadar bahwa negara kita adalah negara penikmat teknologi, bukan pemanfaat teknologi.

(Apr03)

Tidak ada komentar: