15 Mar 2008

Buah Pahit dari Banyaknya Operator







Indonesia adalah negara yang kaya akan banyak sumber daya, termasuk juga diperlihatkan dari jumlah operator telekomunikasi, khususnya operator wireless, dengan basis cellular dan FWA (fixed wireless access). Tak tanggung-tanggung, setelah melewati sewindu reformasi, di Tanah Air setidaknya ada 9 operator yang eksis (Telkomsel, Indosat, XL, Bakrie Telecom, Smart Telecom, Mobile-8, Hutchison, Lippo Telecom dan Sampoerna Telecom).

Kita boleh bangga untuk urusan jumlah operator, di Asia kita menjadi salah satu negeri dengan jumlah operator terbanyak. Regulasi dari pemerintah memang mendorong iklim industri seperti demikian, alasannya dengan multi operator akan menciptakan iklim persaingan usaha yang lebih sehat dan kompetitif, kemudian dengan adanya kompetisi diharapkan dapat merangsang pertumbuhan layanan yang inovatif. Dan terakhir, konsumen tentulah yang paling diuntungkan bisa memilih layanan yang berkualitas.

Gejala Buah Pahit
Banyaknya operator pada dasarnya bisa berdampak positif, semisal untuk menggarap tingkat penetrasi 35% yang dipandang masih rendah, bandingkan jumlah penduduk Indonesia ada 250 juta jiwa. Kebanyakan operator diatas, memulai gelar jaringan di wilayah yang sama, yakni wilayah urban (perkotaan). Maklum wilayah urban dipandang lebih menjanjikan untuk meningkatkan penjualan.

Karena menggarap lahan yang sama (semisal fokus awal di Jawa), maka tingkat teledensitas masih tetap rendah. Nasib penduduk di wilayah terluar tetap kurang diperhatikan. Tentu untuk meningkatkan penjualan, operator harus jeli menggarap pasar baru, ini tak lain pasar menengah kebawah. Berbicara soal ini, tentu target operasi operator tak lagi fokus di 3G, melainkan komunikasi berbasis tarif murah.


Dari Menit ke Detik

Bila dahulu hitungan percakapan berdasar per menit, kini tiap operator telah melego tarif hitungan per detik. Yang bila dipikir-pikir hitungan per detiknya kian menggoda, semisal Rp 0,000001 / detik. Pengguna tentu bersorak girang, biaya komunikasi bisa ditekan.

Tapi apakah kegirangan tersebut berbuah manis? Jawabannya ternyata tidak. Analisanya adalah seperti berikut :

1. Adu perang tarif murah, memunculkan risiko menurunnya margin keuntungan operator, terutama operator kecil.

2. Kompetisi yang keras, membuat beberapa operator sulit meningkatkan jumlah pelanggan secara signifikan. Apalagi operator kecil kian terdesak.

3. Bila lama-kelamaan terdesak, bukan tak mungkin akan terjadi proses merger dan akuisisi pada level operator kecil.

4. Bila terjadi merger dan akuisisi pun belum tentu jadi jalan keluar yang manis. Masalahnya jika frekuensi yang diperuntukkan operator tersebut sudah jenuh, dalam artian pasar pelanggannya. Pastilah investor baru akan kesulitan memulai bisnis baru. Semisal pasal yang dibidik adalah retail based. Ingin membidik pasar korporasi tentu sudah sulit dalam kondisi ini.

5. Bila proses merger dan akuisi tidak mulus. Nantinya yang rugi juga pemerintah. Sebab pemerintah kehilangan pendapatan dari biaya pemakaian frekuensi. Bukan tak mungkin 5 tahun lagi akan ada frekunsi nganggur tanpa peminat.

6. Salah satu bukti pahit, baru-baru ini dialami oleh Lippo Telecom yang mengurungkan niatnya untuk launching produk. Operator baru ini tentu sudah “jiper” duluan untuk masuk pasar persaingan yang keras.


Pahitnya QoS
Promo tarif voice kini kian menggila dan nyaris tak masuk akal. Operator besar dan kecil, tak terkecual semuanya terseret dalam perang ini. Dampaknya banyak orang tergiur untuk meningkatkan pemakaian. Jika sudah demikian, QoS (quality of services) layanan tentu menjadi berkurang. Coba saja, mungkin sebagian dari Anda kerap mengalami drop call, sinyal drop, dll. Itulah buah pahitnya, operator hanya siap menerima peningkatan jumlah pelanggan, tapi tidak siap menambah kapasitas jaringan.


Tidak ada komentar: