9 Apr 2008

Dibalik Suksesnya Ponsel Murah






Harga ‘sangat murah’ menjadi andalan Motorola dalam mengusung konsep Emerging Market Handset. Selain harga yang menjadi perhatian, ponsel murah juga memiliki kisah sendiri dibalik suksesnya

Ponsel keluaran baru ditambah berharga bandrol ‘super’ murah pastilah banyak membetot perhatian. Apalagi jika ponsel yang dimaksud keluaran vendor ternama. Hal ini menjadi fenomena yang kini ramai berlangsung di pasar ponsel negara-negara berkembang, utamanya setelah vendor-vendor besar berlomba ‘mengguyur’ pasar segmen ponsel murah. Vendor seperti Motorola, Siemens, Nokia dan Sony Ericsson adalah pelaku yang cukup berperan aktrif dalam menggenjot pasar ponsel murah di Indonesia dalam beberapa bulan ini.

Ditambah lagi tender dari GSMA (GSM Association) beberapa waktu lalu yang mencanangkan konsep EMH (emerging market handset). Membuat para vendor beradu melakukan penawaran untuk memproduksi kelas ponsel murah. Hasilnya seperti diketahui Motorola pada event 3GSM Congress di Cannes – Perancis bulan Februari lalu mendapatkan kontrak dari GSMA untuk memproduksi ponsel dengan harga kisaran 40 dolllar AS atau lebih rendah. Kontrak produksi dengan jangka 6 bulan itu diperbaharui lagi dengan tender baru untuk produksi ponsel dengan kisaran 30 dollar AS. Pemenangnya untuk tender kedua ini masih Motorola yang diumumkan pada event 3GSM Asia bulan September lalu di Singapura. Target yang dicanangkan tidak main-main, dalam enam bulan pertama Motorola sudah harus mampu memasarkan 6 juta ponsel. Dimana ponsel pertama akan diluncurkan pada kuartal pertama tahun depan.

Mengapa Bisa murah?
Ponsel baru dengan harga bandrol murah sebenarnya bukan cerita baru. Hanya saja paradigma baru dan murah harus sedikit bergeser setelah munculnya ULC (ultra low cost) phone. Biasa ponsel baru dan murah dibandrol dengan harga toko dibawah Rp 1 juta, tapi dengan hadirnya ULC Anda bisa mengatakan sudah ada ponsel baru dibawah Rp 500 ribu. Copntohnya salah satu ponsel ULC Motorola terbaru seri C117, yang malahan paket jualnya sudah ikut di bundling dengan perdana pra bayar Simpati Telkomsel.

Ada beberapa elemen yang membuat vendor mampu menghadirkan ULC. Sebagai ponsel murah, tentu harus tahu diri, pastilah keberadaan fitur-fitur tambahan harus banyak di eliminir. Seperti infrared, layar warna dan akses GPRS jangan harap ditemui pada ponsel ULC. Kemudian tidak kalah penting adalah dukungan dari vendor chipset, sebuah chipset adalah ‘otak’ dari beroperasi nya suatu ponsel. Seiring berjalannya program GSMA para vendor chipset juga turut menurunkan harga jual chip ke vendor ponsel. Texas Instrument, Philips, Qualcomm dan Infineon adalah beberapa vendor yang menghadirkan integrated single chip circuit untuk ponsel ULC. Dampak chipset baru ini adalah mampu mengurangi BOM (bill of materials) yang diemban sebuah ponsel.

Seperti dikutip dalam www.telecomasia.com, Goran Nastic seorang analis dari VisionGain menyebutkan hasil integrated single chip circuit berupa desain basic ponsel yang hanya mengandalkan fungsi voice dan text. Penggunaan sebuah chipset memakan biaya sekitar 23 dollar AS. “Dengan pengembangan teknologi, proses testing, perakitan dan pengemasan diyakini BOM chipset akan dapat diturunkan hingga 15 dollar AS pada tahun 2006 mendatang”, ujar Goran.

Malahan divisi semiconductor Philips sudah menawarkan harga chipset super murah, produk nya diberi nama Nexperia single chip solution yang berharga per unit hanya 5 dollar AS. Dengan harga chipset 5 dollar, beberapa pengamat meyakini vendor dapat menjual paket ponsel baru seharga 20 dollar AS saja. Selain fitur chipset yang dikurangi, space board pada chipset juga ikut dikurangi. “Pada chipset reguler terdapat sekitar 150 hingga 200 komponen pada board. Sedang untuk kebutuhan ponsel ULC jumlah komponen pada chipset dapat dikurangi hingga kurang dari 100 komponen”, kata H.P Ang, vice president of Infineon Asia Pacific. Dengan integrasi circuit pada akhirnya juga menurunkan biaya testing dan kalibrasi chipset yang biasanya memakan waktu 60 detik menjadi hanya 1 detik.

Margin yang Kecil
Butuh kesiapan bagi vendor untuk berani terjun ke pasar ULC. Goran Nastic menyebutkan faktor profit margin menjadi kesulitan vendor untuk memasarkan ponsel ULC. Menurut Nastic diperkirakan profit margin ULC belum akan berkembang pada tahun 2006 mendatang. Namun tentu itu semua sangat bergantung pada struktur biaya yang diadopsi masing-masing vendor. Hal senada juga diakui oleh Yanty Agus, marketing manager mobile devices PT. Motorola Indonesia, diakatakan dari sisi margin ponsel ULC memang tidak besar, namun hal itu bisa ditutupi dari volume produksi dan penjualan yang tinggi.

“Sampai saat ini rangkaian seri ponsel ULC Motorola sudah terjual dengan memuaskan”, ujar Yanty Agus, meski disayangkan Yanty tidak menyebutkan bilangan angkanya. Perlu dicatat, untuk mendukung harga jual ponsel yang murah, Motorola memiliki dukungan pabrik di Singapura. Hal ini dapat memperkecil proses biaya distribusi, pabrik ponsel Motorola di Singapura melayani distribusi untuk negara Asia Tenggara.

Bukan Tanpa Tandingan
Pasar ponsel ULC bukan tanpa tandingan, beberapa pemain industri ponsel banyak yang melakukan impor ponsel murah dari Cina. Langkah pemain tersebut kemudian melakukan perubahan branding dengan grafir merek yang baru. Contohnya perusahaan MCorp Clobal dari India menjual ponsel murah dengan harga antara 35 dollar AS sampai 60 dollar AS. MCorp sendiri melakukan import ponselnya dari Cina dan Taiwan. Di Indonesia vendor Sanex juga menjual ponsel yang sebelumnya diimpor dari perusahaan DBTEL Cina. Fenomena yang berbeda muncul di Amerika Serikat, dimana ponsel Hop On (sekali buang) dijual dengan harga hanya 36 dollar AS.

Baterai AAA untuk ULC
Untuk mendukung misi ULC, Infineon sebagai vendor chipset ternama dari Jerman punya kreasi tersendiri. Infineon menciptakan E-Gold Chipset solution. Kelebihannya selain mampu mengurangi banyak komponen, E-Gold dirancang khusus menggunakan tenaga dari rechargeable AAA betteries. “Konsep chipset ini dirancang untuk mengakomodasi telekomunikasi mobile di wilayah yang belum terdapat jaringan listik”, ujar H.P Ang. Ide ini mengingatkan keberadaan ponsel-ponsel Alcatel yang dahulu pernah menggunakan baterai AAA. Cuma perlu diketahui pula, harga baterai AAA terbilang tidak murah untuk sekedar komunikasi singkat.

(Nov05)

Tidak ada komentar: