2 Jul 2009

Migrasi dari CDMA ke GSM




















Migrasi dari CDMA ke GSM memberi alternatif bagi pelanggan guna menikmati layanan dan jenis ponsel yang lebih bervariasi. Operator pun tak perlu khawatir kehilangan jumlah pelanggan


Dari segi popularitas, jaringan GSM (global system for mobile communication) memang belum bisa ditandingi oleh kompetitornya jaringan CDMA (code division multiple access). Saking populernya GSM membawa pengaruh pada pasar teknologi jaringan. Hal ini terindikasi dari maraknya operator berbasis CDMA yang melakukan migrasi ke jaringan GSM. Data dari GSA (Global Mobile Supplier Association) pada pertengahan tahun lalu menyebutkan ada 30 operator CDMA di dunia yang sudah atau akan bermigrasi ke kubu GSM.

Fenomena diatas terjadi akibat tekanan pasar. GSM hingga kini menguasai 86,6 persen pangsa pasar teknologi jaringan dan didukung oleh ragam tipe plus fitur ponsel yang begitu bervariasi. Ditambah dengan GSM pengguna bisa memperoleh interoperability lewat layanan roaming internasional yang terkoneksi dengan ratusan operator di seluruh dunia. Hal inilah yang menjadi titik lemah bagi pengembangan operator CDMA, meski kemampuan dan kualitas jaringan CDMA sedikit banyak lebih unggul dari GSM, terutama untuk kecepatan akses data bergerak.

Salah satu pelopor migrasi dari CDMA ke GSM adalah Vivo. Vivo adalah operator terbesar di Brazil dan wilayah Amerika Selatan dengan jumlah pelanggan mencapai 40 juta. Atas ”desakan” pelanggannya pada bulan Agustus 2006 operator ini melakukan migrasi ke GSM. Konsep migrasi Vivo mengusung teknologi GSM overlay dan tentunya memanfaatkan site BTS (base tranceiver station) dan spektrum radio yang sebelumnya digunakan jaringan CDMA. Proyek ini melibatkan dua vendor besar, Ericsson dan Huawei. Total lebh dari 11 ribu BTS yang ditambahkan konstruksi jaringan GSM. Hingga kini Vivo memberikan dua layanan GSM dan CDMA. CDMA2000-1x Vivo sendiri sejak tahun 2005 telah melayani teknologi 3G EVDO.

Mobile Number Portability
Dalam perspektif migrasi CDMA ke GSM, bukan lantas keberadaan layanan CDMA dihentikan. Menurut data GSA, kebanyakan operator memilih opsi dual system network. Walau pada akhirnya mayoritas pelanggan lebih memilih berpindah ke GSM. Nah, salah satu bentuk fitur migrasi yang ditawarkan operator adalah MNP (mobile number portability). Teknologi ini memberi pilihan bagi pelanggan untuk berpindah jaringan dan layanan tanpa merubah nomer ponsel yang dimilikinya.

Proses migrasi dari CDMA ke GSM memanfaatkan STP (signal transfer point), STP adalah sistem relay ruter SS7 message antara SEPs (signaling end points) ke beberapa perangkat signal transfer points. Konsep relay sinyal pada jaringan yang telah eksis tentu bisa mengurangi biaya investasi secara keseluruhan. Sedang untuk menunjang berlangsungnya MNP diperlukan router pada komponen HLR (home location register) ke jaringan MSC (mobile switching centre) atau SMSC (SMS center) yang dituju lewat SRF (signaling relay function). Semua komponen ini membuat proses migrasi intra operator menjadi sangat halus. Bahkan di Amerika Serikat, MNP cukup sukses dilakukan antar operator.

Pada kasus operator Vivo, pelanggan tetap memiliki nomer yang lama, yang diperlukan pelanggan cukup mengganti jenis ponsel ke GSM. Pihak Vivo pun bebas dari ke khawatiran pelanggannya bakal pindah ke lain operator. Untuk wilayah Asia, Hanoi Telecom di Vietnam telah menggandeng Ericsson untuk memordenisasi sekaligus migrasi jaringan CDMA ke GSM/GPRS. Desain yang dibangun dalam proyek ini mencakup perlengkapan radio access, fasilitas transmisi optik/microwave dan beragam dukungan lain yang nilai kontraknya mencapai US$450. Pada bulan Desember 2008 proses migrasi Hanoi Telecom telah dikomersialkan.

(Mei09)









Tidak ada komentar: