26 Sep 2008

Kapasitas vs Jangkauan










Ketersediaan jangkauan dan kapasitas menjadi inti layanan operator. Efek perang tarif murah memunculkan isu keterbatasan kapasitas, ditengah kebutuhan operator memperluas coverage.


Akhir-akhir ini sebagian dari Anda mungkin merasa kualitas layanan voice operator agak berkurang, bahkan memburuk di jam-jam tertentu. Hal ini utamanya dirasakan bagi operator yang mengikuti pola jor-joran perang tarif murah. Keluhan seperti drop call, lost signal dan network failure menjadi santapan banyak pengguna setiap hari. Seolah, kondisi trafik saat lebaran berlangsung terus menerus hingga kini. Lalu, mengapa ini bisa terjadi?

Sudah menjadi keharusan bagi tiap operator untuk meningkatkan jumlah pelanggan, salah satu jalannya dengan meningkatkan jangkauan (coverage) di berbagai wilayah. Indikatornya bisa dilihat, tiap operator besar begitu bangga dengan lomba menanam ribuan BTS, jargon iklan yang disebut ”menjangkau hingga seluruh kecamatan” dan ”coverage melayani 90% populasi” sudah lumayan akrab di benak konsumen. Operator pun mendapat sambutan positif untuk hal ini, sebab berhasil membuka isolasi wilayah yang selama ini belum terjamah jaringan telepon.

Tapi ada persoalan lain, yakni kapasitas jaringan. Di era perang tarif yang bombastis, kapasitaslah yang menjadi momok bagi tiap operator. Tarif super murah membawa dampak pada meningkatnya jumlah pelangga, dan jumlah trafik call meroket tajam. Padahal tidak semua lokasi siap meng handle lonjakan (congestion) trafik. Dalam ilustrasi sederhana, satu BTS bisa menampung 69 percakapan secara bersamaan. Nah, bila ada tambahan percakapan, akan muncul kasus gagal panggil dan jaringan sibuk.

Fenomena ini kerap muncul di wilayah padat penduduk (perkotaan) yang menjadi basis pasar operator. Sebagai jalan keluarnya, operator harus meningkatkan kapasitas cell. ”Saat ini coverage tidak menjadi fokus tujuan kami, yang lebih penting kini adalah meningkatakan kapasitas untuk perbaikan layanan”, ujar Hasnul Suhaimi, Presdir XL disela wawancara saat media gathering di Lombok akhir Ferbruari lalu. Operator seperti Telkomsel, Indosat dan XL punya jumlah BTS hingga puluhan ribu, mungkin ribuan BTS menyelesaikan di isu jangkauan nasional. Tapi belum tentu masalah kapasitas bisa terpecahkan.

Strategi operator untuk mengatasi problem kapasitas, umumnya dilakukan dengan pola cell splittting, yakni memecah jumlah cell ke dalam beberapa cell BTS yang lebih kecil dengan lower power Mhz. Sehingga akan lebih banyak pelanggan yang bisa terlayani di suatu area. Pola ini biasa diterapkan untuk mengatasi trafik di wilayah perkotaan yang padat.

Biaya untuk Jangkauan dan Kapasitas
Adalah harga mati bagi operator untuk meningkatkan kapasitas jaringan, hal ini terlihat dari belanja modal (capital expenditure) yang dialokasikan. Di tahun lalu setidaknya Telkomsel mengalokasikan Rp 3 triliun untuk ekspansi jaringan, Indosat malah lebih besar dengan Rp 8,5 triliun untuk pengembangan jaringan selular dan FWA StarOne. Operator ketiga terbesar XL, di tahun ini mengalokasikan dana sekitar US$650. Dari jumlah tersebut, 70 persen anggaran disiapkan khusus untuk memperkuat kapasitas jaringan di 2000 BTS yang telah terpasang. Baru sisanya digunakan untuk ekspansi jaringan (coverage) di wilayah Indonesia Timur.

Di era kompetisi yang keras, operator harus cermat membagi alokasi anggaran, antara meningkatkan kapasitas dan memperluas coverage. Keduanya merupakan elemen penting seiring tuntutan bisnis untuk menambah jumlah pelanggan. Tapi tentunya ada yang jauh lebih penting, yakni QoS (quality of service), tanpa kapasitas yang memadai, mustahil kualitas layanan yang baik bisa terpenuhi. Jika hal ini berlanjut terus, tarif super murah akan menjadi boomerang buat operator.

Tidak ada komentar: