4 Sep 2008

Membangun Industri Ponsel Nasional (Mungkinkah..?)














Akhir bulan lalu saya kebetulan berjumpa dengan Cheng Lie (nama samaran), Ia adalah boss pemegang merek ponsel lokal yang produknya kini sedang gencar dipasarkan di Tanah Air. Ponsel lokal yang dimaksud tak lain adalah ponsel asal pabrikan di Cina yang di branding merek lokal.

Dengan harga jual yang relatif murah, dilengkapi fitur menggoda seperti TV analog dan teknologi dual on membuat penetrasi ponsel cina terbilang cepat masuk ke multi kalangan. Ponsel cina menjadi pilihan yang menarik ditengah daya beli masyarakat yang merosot akibat resesi. Seperti diketahui, meski daya beli menurun, tingkat konsumsi tetap tinggi terutama pada sosok ponsel sebagai elemen lifestyle.

Dengan manisnya bisnis penjualan ponsel cina, terbesit pertanyaan ke Cheng Lie, mengapa tak membuka pabrik di Indonesia?, toh itu hal yang lumrah untuk transfer teknologi, memperkuat investasi di dalam negeri dan bisa menambah lapangan kerja.

Jawaban Cheng Lie, sebenarnya Ia dan beberapa komunitas ponsel lokal sudah berniat membuka alur produksi di Indonesia, tapi apa daya, segudang persoalan menghadang niat tersebut. Menurut pengakuan Cheng Lie, ada beberapa faktor yang membuat investor ogah menanamkan modal di Indonesia, diantaranya :

1. Persepsi yang keliru dari institusi pajak, contohnya ponsel cina yang diimpor, lalu di bungkus (proses packaging) sudah di cap sebagai proses asembling. Tentu saja persepsi obyek pajak ini berujung pada beban biaya pajak yang berbeda. Akibat dari kasus diatas, ponsel cina diimpor berikut dus nya. "Coba pikir, cuma memasukan ponsel ke dalam dus sudah di cap proses asembling. Padahal kalau cuma dus, dibuat di Indonesia tentu bisa lebih murah", papar Cheng Lie .

2. Selain jumlah pajak yang berlipat, masih ada monster pungli di setiap institusi. Mulai dari barang mendarat di pelabuhan dan proses legalitas antar departemen semua memiliki celah pungli.

Bila pemerintah menurunkan pajak pun, biaya pungli dan preman tetap bisa membuat investor keder, mundur teratur. Nah kalau sudah begini, apakah kita siap membangun industri ponsel nasional.

Yang ada saat ini baru sebatas membangun jaringan grosir ponsel dari cina. Fenomena ini tak ubahnya berbisnis distro di segmen fesyen. Akibatnya bisa dilihat, saat ini tak kurang dari 50 merek ponsel lokal yang beredar. Bukan rahasia umum, antar merek punya kemampuan sama, bisa jadi karena memiliki OEM (original equipment manufacture) yang sama pula. Kualitas juga bisa ditebak, satu sama lain setali tiga uang.

Semestinya pemerintah bisa tergerak untuk membenahi birokrasi dan mengatasi pungli. Bila cuma adem ayem, ucapkan wassalam pada industri ponsel nasional. Boro-boro transfer terknologi, yang ada Indonesia hanya mentok sebagai negeri pengkonsumsi produk impor.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Heemmm di sini kan udah biasa yang mungkin jadi tidak mungkin. Dan yang gak mungkin jadi mungkin. Bingung? itulah mungkin yang ada di kepala si Cheng Li sang pengusaha yang niat bikin pabrik ponsel...