1 Sep 2008

Tangkal Ancaman Radioaktif via Ponsel


Dirty Bomb









Akibat sikap AS yang paranoia, ponsel pun bisa dikembangkan sebagai alat penangkal ancaman bom radioaktif


Amerika Serikat (AS) adalah negara adi daya, segala sumber daya, ilmu pengetahuan dan teknologi dimiliki oleh negeri ini. Tapi harus diakui juga, AS tergolong negara yang paling paranoid terhadap keselamatan teritorial dan penduduknya. Paska serangan teroris 11 September 2001, pandangan AS begitu sensitif pada keamanan publik, berbagai aturan dan perundang-undangan dibuat ketat untuk urusan public safety. Tujuannya tak lain untuk menangkal serangan teroris yang mampu memanfaatkan berbagai langkah sabotase.

Menjawab tantangan diatas, Purdue University di Indiana – AS, menggelar riset untuk memanfaatkan ponsel sebagai media penangkal bahaya radiasi nuklir. Ide yang menuai kontroversi ini dikembangkan oleh Andrew Logan, seorang konsultan instrument scientist. Dalam konsepnya sistem berjalan dalam pola blanket (selimut) yang mengelilingi wilayah kota-kota. Pola blanket terdiri dari ribuan bahkan jutaan ponsel yang dilengkapi alat detektor sisa material radioaktif. Tentunya untuk maksud ini ponsel dilengkapi tambahan hardware berupa detektor dan software khusus. Konsep ini konon dipermudah, dimana sebagian besar ponsel di AS telah dibekali GPS (global positioning system), sebab dalam pola blanket sangat mengandalkan kemampuan sistem tracking terhadap suatu lokasi.

Penggunaan teknologi ini didasari bahwa kemampuan ponsel dan PDA saat ini sudah setara dengan internet komputer. Dalam uji coba di area kampus Purdue University, ponsel yang dilengkapi detektor bisa ”mencium” bahan radioaktif yang lemah dalam jarak 15 langkah. Uji coba di area kampus digawangi oleh Ephraim Fischbach, seorang profesor Fisika dan Jere Jenkins, direktur Purdue's radiation laboratories. Dalam skenario uji, setiap ponsel yang mampu mendeteksi bahan radioaktif, akan secara otomatis mengirimkan transmisi sinyal ke data (command) center. Lalu data center akan mengirim informasi ke otoritas keamanan. Hal ini dilakukan tanpa memberikan informasi apapun kepada pemilik ponsel, tujuannya agar tidak membuat kepanikan.

Menyadari potensi bahaya radioaktif bersifat mobile, maka teknologi diatas masih dipadukan dengan keunggulan GPS, maklum keberadaan fasilitas GPS di ponsel sudah menjadi hal lumrah di AS. Data center secara otomatis bisa memperoleh koordinat si ponsel pendeteksi. Sifat target yang mobile (bergerak dan berpindah) tentu sangat menyulitkan bagi crew yang memonitor di data center, sinyal detektor dari ponsel akan melemah dikala obyek menjauh. Agar tak kehilangan jejak, data center bisa menghimpun informasi terbaru dari ponsel-ponsel di sekitar area dengan panduan koordinat GPS.

Meski terbilang konsep yang canggih, masih banyak kalangan yang skeptis terhadap sistem ini. Utamanya pada penggelaran jutaan ponsel dengan sensor radioaktif, secara uji coba dan teori tentu bisa-bisa saja, tapi pada prakteknya akan sulit dan memakan biaya besar. Namun riset ini sudah diperhitungkan dan mendapat dukungan pendanaan dari Indiana Department of Transportation.

Lantas muncul pertanyaan, mengapa pihak keamanan publik begitu khawatir pada ancaman bahan radioaktif? Toh juga bukan hal mudah buat teroris untuk membawa senjata nuklir, setidaknya dibutuhkan transportasi berat. Ternyata jawabannya terletak dari ancaman ’dirty boms’. Sebuah bom dengan ledakan konvensional yang ditambahkan bahan radioaktif. Bom ini bisa mengakibatkan cacat fisik dan kematian secara massal. Target di wilayah urban sangat potensial terhadap serangan dirty bomb. Pada 8 Mei 2002, pihak keamanan AS berhasil menangkap Jose Padilla alias Abdulla Al Muhajir di Chicago, Ia diduga sebagai anggota jaringan Al Qaeda.. Jose Padilla menjadi tersangka perancangan konstruksi dirty bomb.

(Mar08)

Tidak ada komentar: