22 Okt 2011

Vendor Ponsel Lokal Berebut Margin Rp 30.000















Pasar ponsel di Tanah Air memang terbilang gurih beberapa tahun ini, lihat saja kemunculan vendor merek lokal, bak jamur di musim hujan, saban hari ada saja merek baru yang muncul di surat kabar dan media online, memberi geliat bisnis pada industri di Indonesia. Jumlah vendor pun meroket drastis, informasi dari Kominfo tahun lalu bahkan menyebutkan ada lebih dari 150 vendor merek lokal yang telah terdaftar.


Melihat kondisi pasar dan iklim bisnis yang tidak selalu stabil, pastilah akan muncul ‘seleksi alam’, dimana vendor berkocek tebal yang akhirnya lama bertahan. Pasalnya meski potensi pasar masih terbuka luas, belakangan tren penjualan ponsel lokal mulai masuk ke tahap kelesuan. Beberapa indikasi bisa dilihat dari budget beriklan yang terus menurun, bahkan tak sedikit vendor-vendor yang tutup alias gulung tikar.

Salah satu faktor yang berpengaruh adalah tekanan fluktuasi valas, dimana nilai Rupiah cenderung melemah, maklum hape merek lokal masuk kategori barang impor yang memakai hitungan dollar AS. Mengenai lesunya pasar hape lokal ditanggapi serius oleh seorang praktisi perponselan di Tanah Air, beliau sempat menjabat sebagai boss besar vendor global di Jakarta, “saat ini  bagi mereka (vendor lokal-red) bisa mendapat margin profit Rp 30.000 saja sudah Alhamdulilah,” ujar si boss yang tak mau disebut namanya.

Ini tentu bukan informasi yang valid, mengenai keakuratannya silahkan diuji dan dinalar sendiri. Tapi bisa dibayangkan kesulitan yang dihadapi para pemain di industri, mereka umumnya menjual ponsel dengan harga super murah, sedangkan impor dalam nilai dollar yang terus meningkat, belum lagi tekanan persaingan antar vendor, bila stock menipis maka habislah sudah. Mereka pun tak bisa sembarang menaikan harga jual ponsel, daya beli segmen kelas bawah cenderung terbatas, dan tawaran produk alternatif begitu banyak.

Inilah situasi yang miip dengan judul film Warkop, “Maju Kena Mundur Kena.” Dengan hanya untung Rp 30.000 per unit, jumlah karyawan ratusan, bisa jadi ribuan, pertanyaannya bagaimana mereka bisa menutup biaya overhead? (Haryo Adjie Nogo Seno)




Tidak ada komentar: