7 Jan 2010

Ketika Tarif Operator Dipersoalkan
















Hingga akhir tahun 2007, kinerja industri telekomunikasi tampaknya semakin kinclong. Indikasinya terlihat dari jangkauan layanan, jumlah pelanggan, dan besarnya keuntungan yang ditangguk para operator. Namun dibalik itu, sektor ini dianggap belum mengakomodasi kepentingan masyarakat. Pasalnya, tarif layanan telekomunikasi (khususnya tarif off net) dinilai terlalu tinggi sehingga memicu dipersoalkannya keabsahan besaran tarif yang diterapkan para operator.

Tengoklah upaya beberapa lembaga --Komite Nasional Telekomunikasi Indonesia, Indonesia Telecommunication User Group (IDTUG), IndoWLI, dan APWI-- menyomasi Telkomsel, Indosat dan Excelcomindo karena tarif yang diterapkan ketiga operator ini dinilai telah merugikan konsumen sekitar 14 – 30 triliun. Selain itu, delapan operator (Bakrie Telecom, Exelcomindo, Hutchinson CP Telecommunication, Indosat, Telkomsel, Mobile-8 Telecom, Telkom, dan Smart Telecom) tengah diperiksa KPPU karena terindikasi melakukan kartel dalam penetapan tarif SMS.

Struktur pasar
Bagi ekonom, tingginya tarif adalah indikasi kegagalan pasar yang muncul akibat struktur pasar yang tidak kondusif. Dalam studi-studi kebijakan publik, khususnya pendekatan yang berbasis organisasi industri, setidaknya ada tiga aspek yang dapat dijadikan parameter untuk menilai apakah struktur pasar industri telekomunikasi dapat dikategorikan bersifat kondusif atau belum.

Pertama, konsentrasi pembeli. Secara kuantitatif, konsentrasi pembeli (pelanggan) tampaknya sudah kondusif yang ditandai dengan jumlah pengguna dan laba yang diraup tiap operator meningkat setiap tahunnya, walapun peningkatan ini masih didominasi Telkomsel, Indosat, dan Exelcomindo. Peningkatan jumlah pengguna dan laba ini merupakan fenomena kondusifnya struktur pasar yang dikarenakan tiap berlomba “mengeksploitasi” skala ekonomi dan potensi lain yang dimilikinya.

Kedua, hambatan bagi masuknya pemain baru di pasar (barrier to entry/BR). Munculnya BR dapat terjadi secara alamiah dan melalui intervensi. Di era monopoli, operator incumbent senantiasa menciptakan BR dengan “memanfaatkan” pemerintah lewat intervensi kebijakan. Akibatnya, terjadi dead weight loss yang berakibat merugikan konsumen --karena dikenakan tarif tinggi dengan kualitas layanan rendah-- dan menghambat perkembangan sektor telekomunikasi.

Sebaliknya di era kompetisi seperti saat ini, hadirnya BR merupakan konsekuensi logis seleksi alam dan bukan karena intervensi kebijakan pemerintah. Artinya, keberadaan operator di pasar ditentukan kemampuannya bersaing dengan operator kompetitor --lewat penawaran tarif yang rendah dengan beragam layanan yang berkualitas-- sehingga mengakibatkan kondusifnya struktur pasar.

Ketiga, konsentrasi penjual. Dari sisi konsentrasi penjual, struktur pasar industri telekomunikasi di Indonesia boleh dikata sudah kondusif dengan beroperasinya delapan operator. Pasalnya, kehadiran delapan operator itu menunjukkan ketatnya tingkat persaingan antar operator.
Perilaku pasar
Secara struktural, banyaknya operator yang beroperasi di pasar dan tingginya tingkat persaingan seharusnya memicu tiap operator berlomba memberikan peningkatan kualitas layanan dan menawarkan penurunan tarif komunikasi. Ironisnya, yang terjadi justru kecenderungan tingginya tarif dan penurunan kualitas layanan. Terbukti dengan masih tingginya tarif percakapan selular dan SMS, khususnya tarif antar operator (off net).

Kecenderungan tersebut merupakan salah satu bentuk anomali pasar yang dipengaruhi oleh perilaku pasar para operator yang “bermain” melalui price setting policy yang tidak wajar. Perilaku itu bisa berupa kolusi “diam-diam” (tacit collucion) maupun penetapan harga (price fixing). Kedua jenis perilaku ini sulit dibuktikan secara yuridis, karena lazimnya dipraktekkan berdasarkan kesepakatan antar perusahaan (operator) tanpa dilandasi perjanjian resmi. Penurunan kualitas layanan --yang terlihat dari tingginya keluhan dalam hal sulit tersambung dan sambungan terputus, utamanya percakapan yang menggunakan teknologi fixed wireless acces, serta pemotongan pulsa tanpa sepengatahuan pengguna misalnya-- juga merefleksikan perilaku pasar yang tidak kondusif. Fenomena ini terjadi karena quality control policy beberapa operator tidak berjalan semestinya.

Perilaku pasar lainnya yang tidak bersifat kondusif ialah kecenderungan operator berpromosi secara tidak transparan dan cenderung “membodohi” pelanggan. Dalam arti, apa yang dipromosikan operator tak sesuai dengan isi yang dijanjikan didalam promosinya.

Kinerja pasar
Berbagai perilaku buruk yang dipraktekkan operator telah menurunkan kinerja pasar. Penurunan setidaknya terlihat dari penggunaan sumber daya secara tidak efisien dan tidak sesuai dengan kapasitas yang tersedia, serta melambatnya akselerasi pertumbuhan industri. Secara hand in hand, berbagai faktor yang mempengaruhi penurunan kinerja pasar ini pada akhirnya berdampak mengurangi ekspansi jaringan secara nasional.

Penurunan kinerja pasar yang dipicu perilaku buruk operator ini harus diberikan sanksi hukum. Alasannya, karena perilaku itu “melabrak” aturan dan norma-norma bisnis maupun hukum yang berlaku, sebagaimana diatur dalam UU No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Selain itu, juga berdampak menghambat pertumbuhan sektor telekomunikasi dan merugikan konsumen, sehingga secara yuridis melanggar hakekat dan tujuan UU No.36/1999 tentang Telekomunikasi dan UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Secara fungsional, pemberian sanksi hukum ini setidaknya berdampak ganda. Disatu sisi dapat memulihkan, minimal mengurangi, perilaku buruk tiap operator telekomunikasi dan mencegah terjadinya praktik monopoli serta persaingan usaha yang tidak sehat antara para penyelenggara telekomunikasi. Di sisi lain, juga berpotensi meningkatkan kualitas dan menurunkan tarif layanan, sehingga pada gilirannya konsumen tidak mempersoalkan lagi tarif yang ditetapkan operator. (Abdul Salam Taba - Alumnus School of Economics the University of Newcastle, Australia)

Tidak ada komentar: