18 Mei 2010

CitiSense - Komunitas Sensor Polusi Udara



















CitiSense menawarkan konsep sensor polusi udara yang unik, memadukan keunggulan interkoneksi dan mengedepankan peran komunitas masyarakat



Sebagai pengguna jalan raya di kota besar, banyak hal yang Anda inginkan agar perjalanan aman dan nyaman. Hal ini bisa didapat bila Anda melalui rute jalan yang singkat dan bebas macet. Tapi dampak industrialisasi membawa kita untuk melengkapi unsur kenyamanan berjalan raya, yakni pilihan rute yang sehat dengan tingkat polusi rendah. Seperti diketahui, kadar polusi udara yang tinggi menjadi problem serius di jalan raya kota metropolitan. Bila jalanan macet berdampak pada tingkat stres. Maka polusi udara di jalan berdampak ke penyakit pernasapan bagi pengendara dan penduduk yang tinggal di sepanjang jalan.

Berangkat dari kasus diatas, sekelompok peneliti dari University of California San Diego (UCSD) memperkenalkan solusi yang diberi lalel ”CitiSense”. CitiSense adalah solusi monitoring lingkungan yang melibatkan ratusan, bahkan nantinya dengan ribuan sensor polusi di wilayah padat polusi. ”Ide ini kami rancang berdasar kasus polusi udara di San Diego, kota ini mempunyai populasi 3,1 juta jiwa dengan luas wilayah 4000 metric persegi. Tapi ironisnya hanya terdapat 5 sensor udara yang dimiliki EPA (Enviromental Protection Agency),” ujar William Griswold, Profesor pengembang CitiSense dari Department of Computer Science and Engineering UCSD.
















Kebolehan CitiSense yakni melibatkan secara aktif masyarakat untuk melakukan monitoring polusi udara. Hasil monitoring nantinya juga dimanfaatkan (di-share) oleh masyarakat. Untuk menjalankan CitiSense diperlukan infrastruktur jaringan, software, artificial intelligence dan back end server. Konkritnya ’ditebar’ ratusan/ribuan sensor indoor/outdoor baik yang bersifat fixed dan mobile sensor. Fixed sensor polusi udara mirip dengan yang terdapat di bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, bedanya pihak UCSD akan mengembangkannya dengan energi solar cell.










Sedang pada mobile sensor menggunakan perangkat mungil, Squirrel. Perangkat mungil ini bekerja layaknya sensor polusi udara pada umumnya. Cara kerja Squirrel dengan menyalurkan data dan info polusi udara via bluetooth ke ponsel. Nah, pengguna ponsel dapat melihat langsung kadar polusi yang ada disekitaran dirinya. Tapi tak hanya itu, pengguna yang tergabung dalam komunitas CitiSense dapat mengirimkan info polusi yang didapat ke server based CitiSense. Dari server semua data diolah yang kemudian di distribusikan pada para pengguna kendaraan yang membutuhkan (info on demand) di layar ponsel.

Mewujudkan CitiSense bukanlah tanpa tantangan, menurut Griswold, ada beberapa tantangan teknis yang akan dihadapi di lapangan. Contohnya uplink streaming yang rata-rata berkecepatan 64 Bps (bytes per second), proses uplink umumnya 20 kali lebih lambat dari download, dan pengaturan prioritas trafik. Idealnya untuk partisipasi di mobile sensor diperlukan akses uplink 1,8 Mbps pada jaringan EV-DO Rev A, atau 100 Bps pada selular berjaringan 3G. CitiSense dalam rilisnya akan dikembangkan dengan standar up date data per menit.

CitiSense memang masih sebatas konsep, tapi perhatian publik di AS sangat tinggi pada konsep ini. Dibuktikan dengan bantuan dana untuk implementasi CitiSense sebesar US$1,5 juta dari National Science Foundation pada awal Desember 2009. Di AS urusan kesehatan publik menjadi isu penting, terutama terkait polusi udara. Data dari EPA menyebutkan, selama tahun 2009 tak kurang 158 juta penduduk AS mempunyai problem akibat polusi udara yang diakibatkan asap knalpot kendaraan bermotor. (Haryo Adjie Nogo Seno)

Tidak ada komentar: