Pasar ponsel di Tanah Air memang terbilang gurih beberapa tahun ini, lihat saja kemunculan vendor merek lokal, bak jamur di musim hujan, saban hari ada saja merek baru yang muncul di surat kabar dan media online, memberi geliat bisnis pada industri di Indonesia. Jumlah vendor pun meroket drastis, informasi dari Kominfo tahun lalu bahkan menyebutkan ada lebih dari 150 vendor merek lokal yang telah terdaftar.
Melihat kondisi pasar dan iklim bisnis yang tidak selalu stabil, pastilah akan muncul ‘seleksi alam’, dimana vendor berkocek tebal yang akhirnya lama bertahan. Pasalnya meski potensi pasar masih terbuka luas, belakangan tren penjualan ponsel lokal mulai masuk ke tahap kelesuan. Beberapa indikasi bisa dilihat dari budget beriklan yang terus menurun, bahkan tak sedikit vendor-vendor yang tutup alias gulung tikar.
Salah
satu faktor yang berpengaruh adalah tekanan fluktuasi valas, dimana nilai
Rupiah cenderung melemah, maklum hape merek lokal masuk kategori barang impor
yang memakai hitungan dollar AS. Mengenai lesunya pasar hape lokal ditanggapi
serius oleh seorang praktisi perponselan di Tanah Air, beliau sempat menjabat
sebagai boss besar vendor global di Jakarta, “saat ini bagi mereka (vendor lokal-red) bisa mendapat
margin profit Rp 30.000 saja sudah Alhamdulilah,” ujar si boss yang tak mau
disebut namanya.
Ini
tentu bukan informasi yang valid, mengenai keakuratannya silahkan diuji dan
dinalar sendiri. Tapi bisa dibayangkan kesulitan yang dihadapi para pemain di industri,
mereka umumnya menjual ponsel dengan harga super murah, sedangkan impor dalam
nilai dollar yang terus meningkat, belum lagi tekanan persaingan antar vendor,
bila stock menipis maka habislah sudah. Mereka pun tak bisa sembarang menaikan
harga jual ponsel, daya beli segmen kelas bawah cenderung terbatas, dan tawaran
produk alternatif begitu banyak.
Inilah
situasi yang miip dengan judul film Warkop, “Maju Kena Mundur Kena.” Dengan
hanya untung Rp 30.000 per unit, jumlah karyawan ratusan, bisa jadi ribuan,
pertanyaannya bagaimana mereka bisa menutup biaya overhead? (Haryo Adjie Nogo Seno)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar