5 Nov 2010
Bisnis Konten, Tak Ramah Bagi Pendatang Baru
Banyak hal menarik yang perlu dicatat seputar fenomena pertumbuhan bisnis konten yang tumbuh pesat tiga tahun terakhir di Indonesia. Selain munculnya banyak alternatif layanan baru yang unik, di tahun-tahun tersebut SMS premium ternyata primadona utama bagi para Content Provider (CP), sesuatu yang mungkin tidak terjadi di negara lain.
Tampilnya SMS premium sebagai bisnis utama sebuah CP awalnya sedikit diluar perhitungan. Berbeda dengan layanan data melalui GPRS yang sebenarnya lebih kaya akan variasi layanan, SMS ternyata justru jauh bisa diterima oleh pengguna. Bahkan hingga saat inipun, turunan dari layanan-layanan terbaru yang dikeluarkan oleh CP-CP pun tak jauh-jauh dari pemanfaatan SMS Premium. Sekalipun hanya digunakan sebagai ‘media charging’ alias pentarifan saja. Alasannya sederhana saja, operator belum siap dengan model pentarifan premium terhadap layanan GPRS.
Meski tetap optimis, bisnis SMS premium sendiri sebenarnya sedang mengalami masa ‘kejenuhan’. Salah satunya adalah maraknya SMS Subscription alias PUSH. Sebagian besar CP tanpa dikomando, ‘memaksakan’ dan ‘terpaksa’ menyelenggarakan layanan ini untuk menjaga eksistensi bisnisnya. Meski mungkin bagi banyak orang terlihat biasa, namun fenomena ini memberi indikasi CP mulai sedikit ‘frustasi’ pasar yang ada. Fenomena ini juga memberi indikasi bahwa jumlah pengguna layanan-layanan SMS premium ini sendiri kurang tumbuh seperti yang diprediksikan. Jumlah nomor baru yang dikeluarkan memang bertambah, namun pengguna uniknya meningkat tidak seperti yang diprediksi. Untuk itu para CP berusaha menjaga konsistensi pendapatan dengan cara ‘memaksakan’ pengguna untuk berlangganan.
Bahayanya, layanan model ini rentan terhadap manipulasi dan kecurangan melalui pemaksaan yang mencoreng citra bisnis konten secara keseluruhan. Semuanya dilakukan ‘demi’ satu hal, mengejar ‘setoran’ agar CP yang bersangkutan tetap diperkenankan menggunakan jalur dari operator untuk berbisnis.
Bisnis konten melalui operator selular saat ini dapat dikatakan ‘masih’ menjadi milik segelintir perusahaan CP saja. Seperti mengikuti hukum pasar, CP-CP besar yang umumnya telah eksis lebih lama dan memiliki modal yang cukup besar telah mencaplok banyak hal. Praktis hanya CP-CP besar yang mampu mendominasi ruang publik melalui iklan-iklan. Saat ini bisa dikatakan hanya dua tipe CP yang mampu bertahan dalam persaingan usaha bisnis konten. Pertama yang masih memiliki biaya promosi yang besar dan kedua adalah yang memiliki basis komunitas yang kuat. Ini merupakan hal penting yang patut dicatat oleh calon pebisnis di bidang konten.
Bisnis CP sendiri merupakan bisnis yang “fair”. Indikatornya jelas! Tak boleh ada permainan harga oleh para CP, karena harga ditentukan secara sepihak oleh operator. Dan operator memiliki kendali atas segenap koridor dari konten yang boleh ditawarkan, terutama yang menyangkut pornografi dan SARA. Jadi praktis kompetisi antar CP sesungguhnya benar-benar pada kualitas dari layanan yang ditawarkan serta strategi pemasaran dari CP yang bersangkutan. Meski demikian terdapat beberapa perlakukan khusus terhadap CP-CP tertentu yang sudah besar, yang menurut saya sebenarnya wajar, namun di beberapa hal sering berlebihan misalnya dalam kemudahan penggunaan beberapa short code, dan sebagainya.
Salah satu permasalahan besar bagi CP-CP baru maupun yang masih kecil adalah perubahan regulasi mengenai batas minimal ‘revenue’ per bulan yang harus diperoleh setiap CP di setiap bulannya yang mulai ditingkatkan. Dalam hitungan matematis ala CP, jumlah nominal minimal tersebut kurang lebih setara dengan berapa nilai nominal iklan yang harus dikeluarkan setiap bulannya. Persyaratan tersebut masih diembel-embeli bahwa nilai tersebut harus terpenuhi dalam kurun waktu 3 bulan berturut-turut. Dan yang menambah berat adalah ketika nilai tersebut gagal dipenuhi, maka CP yang bersangkutan tetap harus membayar ke operator jumlah “sharing minimal” yang telah disepakati. Jumlah revenue minimal yang harus dihasilkan ini bervariasi untuk setiap operator dan umumnya meningkat sesuai dengan jumlah pelanggan dari operator. Nilai sharingnya juga berubah sesuai dengan berapa nominal per bulan yang dapat dihasilkan oleh CP. Semakin besar, tentu nilai prosentase yang didapat oleh pihak CP juga semakin besar.
Sebenarnya, regulasi ini adalah positif adanya dan harusnya akan membuat CP-CP bekerja lebih professional. Terus terang CP harusnya diuntungkan dengan cara seperti ini secara tidak langsung. Namun kondisi ini harus dibarengi dengan kearifan dan keadilan operator dalam mengimplementasikan regulasi ini, mengingat meskipun kesuksesan sebenarnya ada di tangan para CP sendiri, namun sebenarnya nadi utama dari bisnis ini justru adalah operator. Mungkin ini catatan penting bagi operator bahwa CP-CP pun saat ini sudah menyumbang pendapatan yang cukup besar bagi operator.
Bagi CP-CP yang baru dan akan muncul, pikirkan strategi lebih dalam lagi sebelum melangkah. Mulailah dengan produk unik. Jangan banyak membuang ‘resource’ dengan mencoba banyak media promosi tanpa perencanaan matang dan data yang akurat tentang efektifitas dari media yang bersangkutan. Ingat! Pengguna selular semakin cerdas. Tetaplah fokus pada SMS. MMS memang cukup menarik, namun SMS jauh bisa diterima masyarakat Indonesia dan tingkat kegagalan pentarifannya relatif lebih rendah. Jadi, peluang bisnis konten tetaplah menarik. Meski demikian, anda harus cermat karena kompetisi bisnis konten semakin berat. (Antonius Aditya Hartanto, Praktisi Bisnis Konten)
Kategori
Beranda Kolom
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar