15 Sep 2009
Efek Perang Tarif : Pengguna Bingung, Siapa Lagi Yang Buntung ?
Sebagai pengguna telepon selular, saya termasuk yang pusing tujuh keliling dengan perang tarif yang makin lama kian tidak jelas. Meski sebagai pengguna kartu paska bayar, saya juga memiliki beberapa nomor pra bayar yang (terus terang saja) dipilih karena mempertimbangkan tarif tadi. Pusing pertama karena bingung memilih mana yang sebenarnya paling murah. Dan pusing kedua karena siapa yang paling murah ternyata bisa saja berganti dalam hitungan hari. Itu artinya nomor tersebut harus dihanguskan atau membeli nomor baru. Semua tahu, mengelola dan menghidupkan banyak nomor selular sekaligus tak semudah yang diperkirakan.
Jika dulu perang promosi antar operator lebih bervariasi dari sekedar permainan tarif, sekarang komponen tarif seperti menjadi mendominasi perang antar operator. Dahulu operator masih bisa berpromosi sambil membanggakan luasnya jaringan, kejernihan suara, hingga layanan tambahan lainnya. Namun kini, promosi sangat fokus pada berapa nominal rupiah yang dikeluarkan per detik dan yang paling konyol lagi sampai muncul persepsi perang tarif operator saat ini adalah perang angka nol paling banyak.
Penurunan tarif percakapan khususnya percakapan lokal cepat atau lambat harus dan akan segera terjadi mengingat rencananya mulai April 2008 akan diberlakukan tarif interkoneksi baru yang akan turun hingga 30%. Namun yang tidak disadari oleh para pengguna adalah, apakah operator telah siap dengan skenario lonjakan pengguna yang tinggi dalam waktu singkat. Bisa jadi mereka tidak peduli, karena yang penting murah, putus-putus atau mati di tengah jalan adalah konsekuensi.
Perang tarif yang semakin lama semakin norak (setidaknya menurut saya) di satu sisi merupakan fenomena bisnis yang biasa, namun menjadi tak biasa karena pihak operator sibuk mengekplorasi komponen yang tidak penting dan sepertinya sengaja untuk mengorbankan perang di tataran kualitas layanan. Padahal, dengan diturunkannya tarif percakapan oleh sebuah operator, dalam waktu singkat akan memacu keinginan pengguna secara signifikan untuk terus berbicara yang akhirnya meningkatkan kepadatan lalu lintas percakapan.
Jika menilik pengalaman pas hari raya saja, dimana jaringan operator seringkali tumbang dan kepentingan pengguna tak terlayani dengan baik, bisa dibayangkan jika kondisi tersebut berlangsung setiap harinya. Idealnya penurunan tarif harus diimbangi kenaikan kapasitas jaringan dan ini berarti peningkatan biaya. Nyatanya, penurunan tarif percakapan yang diikuti dengan kenaikan volume percakapan tidak serta merta ikut menyumbang peningkatan pendapatan yang signifikan bagi operator. Dan kondisi ini berimbas dengan skenario terburuk, tidak akan ada peningkatan kualitas jaringan yang sebanding dengan peningkatan jumlah penggunaan jaringan oleh pengguna.
Dari kacamata pribadi, perang tarif menunjukkan bahwa operator mulai kehabisan ide untuk memenuhi target pengguna selular yang dilayaninya. Yang lebih ironis, operator justru berebut pasar yang memang tidak loyal. Pada akhirnya bukan operator saja yang buntung, komponen lain yang bersinggungan dengan dunia selular juga ikut murung. Dengan biaya percakapan yang nol sekian rupiah per detik, masih jauh lebih murah ketimbang akses 1 Kbyte data dengan menggunakan GPRS atau 3G yang berkisar 10-25 rupiah per Kbyte-nya. Ini artinya, konten terasa semakin mahal jika ditilik dari tarif percakapan. Dan ini imbasnya, bisnis konten menjadi semakin sulit meraup keuntungan padahal situasi saat ini sudah sangat berat. Dan bukan rahasia lagi jika bandwidth untuk penggunaan bisnis konten oleh Content Provider selalu mendapatkan porsi yang jauh lebih kecil. Dalam jangka panjang bisnis konten akan semakin mandek, tak akan banyak inovasi muncul, peluang baru pun akan mati. Siapa yang rugi? (Antonius Aditya Hartanto, Praktisi Konten Multimedia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar