1 Jul 2009

2G Tetap Nomer Satu





















Jaringan 3G sudah eksis saat ini, tapi dalam pasar base station (BTS) 2G tetap nomer satu. Faktor apa saja yang menyebabkan pasar base station 2G tetap nomer satu hingga kini?


Dengan kecepatan akses yang dimilikinya, 3G kini menjadi ikon dagang andalan bagi para operator selular. Seperti pada jaringan akses sebelumnya (2G), elemen kualitas dan kuantitas juga kerap di kampanyekan pada publik guna menunjukkan performa si operator. Selain soal kualitas jaringan yang punya nilai plus minus di tiap operator, faktor kuantitas juga cukup gencar didengungkan. Wujudnya berupa perluasan coverage base station dan merapatkan cell-cell base station 3G (node B) di suatu area untuk memberikan kenyamanan akses bagi pelanggannya.

Lepas dari tingkat kesuksesan layanan 3G, operator tetap bergelut untuk memperluas jaringan 3G-nya. Apalagi 3G jadi satu-satunya gerbang buat operator untuk menggelar layanan internet mobile berkecepatan tinggi. Belum lagi dengan hadirnya layanan bundling paket data di ponsel seperti BlackBerry dan iPhone, lalu pasar penjualan modem. 3G pun mau tak mau harus berevolusi menjadi 3,5G – HSDPA (high speed downlink packet access).

Walau menjadi ikon pencapaian teknologi bagi operator, dalam kuantitas base station (BTS) 3G masih jauh dari jumlah BTS 2G. Ambil contoh, dari 27.500 BTS Telkomsel, baru 4.000 yang dilengkapi kemampuan 3G. Pasar BTS 2G pun bukan berjalan ditempat, sampai saat pembelian perangkat BTS oleh operator di Tanah Air masih didominasi oleh base station 2G. ”Secara pemasaran di pihak kami, 80 persen BTS yang dijual ke operator adalah dari jenis 2G, baru sisanya BTS 3G,” kata Yohan Adi Satria, Deputy Marketing Director Huawei Indonesia. Huawei adalah salah satu vendor jaringan yang banyak memasarkan BTS untuk operator Telkomsel, XL dan Axis.

Meski akses internet 2G tak bisa ngebut layaknya 3G, tapi 2G juga punya kemampuan akses internet lewat teknologi GPRS (general packet radio access) dan EDGE (enhanced data rate for GSM evolution). GPRS/EDGE pun jadi primadona sebagai backup akses 3G. Antara koneksi 3G dan GPRS/EDGE juga bisa berjalan seamless operation, bila jaringan 3G down maka bisa langsung dialihkan ke jaringan GPRS/EDGE (2,5G/2,75G).

Analisa dari lembaga riset In-Stat pada awal April 2009 melaporkan pasar penjualan BTS di tingkat global di tahun 2008 didominasi jenis EDGE yang mencapai lebih dari 40 persen. ”Melihat kondisi yang ada, diperkirakan tahun ini pasar BTS EDGE masih akan mendominasi,” ujar Allen Nogee, seorang analis dari In-Stat. Laporan In-Stat didasarkan maraknya pembangunan BTS berbasis EDGE di wilayah Timur Tengah, Amerika Latin dan Afrika.

Nogee menyebutkan, ada 300 juta pengguna ponsel baru di wilayah Afrika, Cina dan India. Kebanyakan mereka berasal dari segmen masyarakat kelas menengah ke bawah yang hanya mampu membeli ponsel di segmen low cost phones yang berharga dikisaran US$20. Segmen dan harga ponsel tentu terkait langsung dengan fitur yang ditawarkan. Walau katakan ponsel sudah dibekali akses internet browser, kebutuhan yang diperlukan masih sebatas EDGE.

Sebaliknya pasar base station di wilayah Amerika Serikat, Jepang dan Korea mengalami perlambatan akibat dampak krisis ekonomi global. Di negara-negara maju proyeksi pengembangan BTS lebih ditekenkan pada pasar 3G/HSDPA/HSUPA ”Tingkat perputaran pembelian ponsel berkurang dan kebanyakan konsumen kurang antusian pada fitur-fitur baru yang ditawarkan, hal ini secara tak langsung berimbas pada perluasan BTS 3G/HSDPA di wilayah tersebut,” ujar Nogee.

Mengapa Belum 3G
“Gelar BTS 3G operator pada dasarnya dilakukan lewat analisa potensi ekonomi di suatu wilayah. Meski di suatu daerah terlihat banyak yang menggunakan ponsel 3G belum tentu penggunaanya tinggi, contohnya seperti pasar ponsel di Papua, disana populasi ponsel multimedia cukup tinggi, tapi kebanyakan ponsel berasal dari produk bekas yang berasal dari luar pulau. Artinya pasar ponsel bekas juga berpengaruh pada analisa gelar jaringan operator,” ujar Pandu Sinatriyo, Head of Radio Access Nokia Siemens Network Indonesia.

Selain itu operator juga masih mempertimbangkan soal biaya yang dikenakan oleh regulator untuk BHP (biaya hak penggunaan) 3G. Meski sudah membayar up front fee dengan nilai rartusan miliar, untuk gelar tiap BTS 3G konon masih diperlukan biaya perijinan lain. BHP 3G didasarkan pada lebar bandwidth Bandingkan dengan BHP 2G yang sudah mencakup GPRS/EDGE, operator cukup membayar berdasarkan izin stasiun radio (ISR) setiap tahunnya. Lebar bandwidth 3G yang disediakan di Indonesia adalah 5Mhz, sedang bandwidth 2G adalah 200 Khz.

Tapi alasan utama mengapa belum 3G yakni karena pelanggan 2G tentu jauh lebih besar, dan 2G digunakan benar-benar untuk esensi komunikasi selular seperti voice dan SMS. Sebaliknya 3G dengan ikon video call justru terlihat ibarat mati gaya. Peran 3G kini lebih disiapkan untuk menunjang pasar paket data di ponsel dan modem. Walau konon harga BTS 2G dan 3G tak terpaut jauh, tapi ada pertimbangan teknis dan non teknis yang menyertainya. Dan kedepan pasar BTS 2G dan 3G tetap berkembang sesuai dengan proporsinya masing-masing. Yang perlu diingat, setiap BTS 3G pasti memiliki sudah berkemampuan 2G, tapi belum tentu tiap BTS 2G sudah dibekali 3G.

(Mei09)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar