20 Jan 2010

Microsoft My Phone
















Sinkronisasi OTA Ala Windows Mobile


Akhirnya Windows Mobile punya fitur sinkroniasai data OTA (over the air), terbilang lengkap dengan dukungan LBS dan menu keamanan data terpadu


Sistem operasi Windows Mobile (Winmo) yang dibesut Microsoft kembali memperkenalkan sebuah fitur baru, My Phone. Fitur ini pada dasarnya berperan sebagai solusi backup data dari ponsel ke dalam server Microsoft, tentu yang digadang lewat jalur OTA mobile akses internet. Solusi backup ini dapat menjadi pilihan alternatif yang baik dan aman, selain backup data lewat sinkronisasi ke PC (personal computer). Sekilas fitur My Phone tak ubahnya melihat kelengkapan menu di Sync Outlook, termasuk Sync contacts, calendar, task, dan text message (SMS).

Tapi fitur terbaru Winmo ini tak sebatas hadir dengan kemampuan itu saja. My Phone dapat melakukan sinkronisasi untuk browser favorites, photos, videos, document, dan bahkan mampu sinkronisasi untuk data yang ada di kartu memori. Masih yang lebih hebat, My Phone dilengkapi current location LBS (location based service) GPS, berguna bila ponsel hilang, pengguna dapat mengetahui lokasi terakhir lewat Map digital. Masih seputar keamanan data, My Phone dilengkapi menu untuk menghapus data di ponsel secara otomatis. My Phone ditawarkan sebagai fitur embedded di Winmo 6.5, tapi fitur ini bisa di download gratis di ponsel Winmo 6.0 dan 6.1.

1.
Untuk memulai, Anda harus memiliki akun Windows Live ID. Bila Anda belum punya, tersedia link untuk langsung membuat akun email live.com, msn.com dan hotmail.com






2.
Kami menjajal My Phone di ponsel Samsung Omnia Pro, walau My Phone sudah embedded, tetap tetap diminta upgrade ke versi 01.05.2128.0401.






3.
Setelah lewat proses input username dan password, masuk ke sync options. Anda bisa memilih opsi pilihan data yang akan di sinkronisasi.






4.
My Phone dilengkapi sync schedule, bisa diatur frekuensi sync secara manual dan otomatis. Untuk opsi otomatis, bisa diatur berdasar setting hari dan waktu.






5.
Untuk share foto, ada pilihan share berdasarkan pilihan foto tertentu atau semuanya. Anda juga bisa share foto ke beberapa situs jejaring sosial.






6.
Kecepatan proses sync bergantung pada jenis konten yang di share dan kualitas koneksi internet. Untuk sinkronisasi data berupa foto dan lagu akan terasa lebih lama.






7.
Saat proses sync berjalan, Anda bisa menghentikan lewat ”stop using service”, data Anda di ponsel dijamin tak akan hilang.







8.
My Phone dapat diakses via web di http://myphone.microsoft.com. Hasil share dapat dilihat di web ini, termasuk untuk navigasi menu LBS dan keamanan data.






Sumber : http://myphone.microsoft.com
Besar File : 1,27 MB
Harga : Gratis
Ponsel Pendukung : Windows Mobile Pocket PC dan Smartphone 6.0, 6.1, dan 6.5.

14 Jan 2010

Akses 3G di Frekuensi 900 Mhz





















Dengan jangkauan yang lebih luas, frekuensi 900 Mhz digadang mampu mengusung layanan mobile broadband. Tentunya diawali dengan solusi refarming


Adu performa antar operator dalam ranah mobile broadband kian menarik. Seiring pemunculan jenis handset baru dan bertambahnya populasi, maka menjadi tantangan bagi tiap operator untuk meningkatkan jangkauan (coverage) dan kapasitas mobile broadband. Operator harus meningkatkan jangkauan, sebab target pelanggan mobile broadband juga sudah merambah ke wilayah rural, seiring perluasan wilayah pemukiman di pinggiran kota-kita besar. Ambil contoh akses mobile broadband cukup kuat di Jakarta, tapi di area Tangerang, Bekasi dan Depok jangkauan aksesnya masih terbatas.

Selepas misi meningkatkan jangkauan, operator masih punya pekerjaan rumah untuk menambah kapasitas di area tersebut. Maklum seiring perluasan jangkauan, biasanya diikuti bertambahnya kebutuhan akan kapasitas. Tapi ternyata bukan perkara mudah buat operator untuk ekspansi jaringan, kebutuhan investasi mobile broadband yang tinggi harus dihadapkan pada tingkat ARPU (average revenue per user) yang menurun. Untuk itu harus dicari jalan tengah agar diperoleh solusi terbaik. Salah satu yang ditawarkan yakni penggunaan frekuensi 900 Mhz untuk 3G/UMTS (Universal Mobile Telecommunication System).

Saat ini 3G di Indonesia berjalan di frekuensi 2100 Mhz dengan bandwidth 5 Mhz. Sedangkan bila 3G diadopsi pada frekuensi yang lebih rendah, 900 Mhz, maka jangkauan akan meningkat lebih jauh. Dalam teorinya, operator dapat mengurangi kebutuhan site BTS 3G hingga 65 persen. Pada solusi refarming yang dituangkan oleh Nokia Siemens Network (NSN), disebutkan penggunaan site BTS 3G 900 Mhz dapat mencakup area 2.8 kali lebih luas dibanding menggunakan BTS 3G 2100 Mhz.

Dengan kelebihannya itu, 3G di 900 Mhz mulai banyak diadopsi operator di luar negeri. Berdasarkan rilis dari GSA (Global mobile Suppliers Association) per 4 September lalu, sudah 10 operator yang mengadopsi solusi ini. Elisa dari Finlandia menjadi yang pertama meluncurkan 3G 900 Mhz pada November 2007, dan terakhir Digitel dari Venezuela pada awal Maret 2009. Untuk wilayah Asia, beberapa operator di Thailand, Singapura, Filipina dan Hong kong juga sudah mulai mengadaptasi 3G 900 Mhz.

Untuk menggelar 3G 900 Mhz bukan perkara mudah, diperlukan teknik yang disebut refarming, yakni menata kembali frekuensi dan bandwidth yang tersedia. Frekuensi 900 Mhz sudah dikenal diperuntukkan bagi jaringan 2G, dan alokasi kanal di frekuensi ini sudah cukup padat. ”Tingkat kesulitannya ibarat kita ingin membangun jalur busway di tengah jalur eksisting yang juga sudah padat,” ujar Pandu Sinatriyo, Head of Solution Sales Radio Access NSN Indonesia. Tantangan lainnya adalah menjamin performa layanan 2G tidak terganggu, dan koneksi layanan baik 2G dan 3G bisa berjalan seamless.

Hal diatas bisa dilakukan dengan menata bandwidth 5 Mhz menjadi unique carrier bandwidth 4.2 Mhz di frekuensi 900 Mhz. Sisanya 800 Mhz bisa tetap dialokasikan untuk melayani service 2G. Untuk mengatasi beban kapasitas 2G, operator dapat mendayagunakan kapasitas di frekuensi 1800 Mhz dan 2100 Mhz. Untuk menggelar solusi ini, operator dapat memanfaatkan BTS eksisting, secara hardware memang diperlukan penambahan modul frekuensi baru. Bagi konsumen, selain tidak ada perubahan dari sisi akses kecepatan data, di area indoor pun lewat frekuensi 900 Mhz performa kecepatan data bisa lebih baik. Ponsel-ponsel 3G yang mampu berjalan di frekuensi 900 Mhz juga sudah mulai banyak beredar di pasar.

Tantangan di Regulasi
Solusi refarming di beberapa negara, termasuk Indonesia, masih perlu pengkajian dari sisi regulasi. Pasalnya frekuensi 900 Mhz memang “hanya” diperuntukkan untuk 2G, dimana setiap operator harus membayar BHP (Biaya Hak Penggunaan) frekuensi per tahun untuk setiap Trx (tranceiver dan receiver). Untuk ini belum ada pengaturan dari regulator, apabila layanan 3G 2100 Mhz dialihkan semua atau sebagian ke 900 Mhz. (Haryo Adjie Nogo Seno)

7 Jan 2010

Ketika Tarif Operator Dipersoalkan
















Hingga akhir tahun 2007, kinerja industri telekomunikasi tampaknya semakin kinclong. Indikasinya terlihat dari jangkauan layanan, jumlah pelanggan, dan besarnya keuntungan yang ditangguk para operator. Namun dibalik itu, sektor ini dianggap belum mengakomodasi kepentingan masyarakat. Pasalnya, tarif layanan telekomunikasi (khususnya tarif off net) dinilai terlalu tinggi sehingga memicu dipersoalkannya keabsahan besaran tarif yang diterapkan para operator.

Tengoklah upaya beberapa lembaga --Komite Nasional Telekomunikasi Indonesia, Indonesia Telecommunication User Group (IDTUG), IndoWLI, dan APWI-- menyomasi Telkomsel, Indosat dan Excelcomindo karena tarif yang diterapkan ketiga operator ini dinilai telah merugikan konsumen sekitar 14 – 30 triliun. Selain itu, delapan operator (Bakrie Telecom, Exelcomindo, Hutchinson CP Telecommunication, Indosat, Telkomsel, Mobile-8 Telecom, Telkom, dan Smart Telecom) tengah diperiksa KPPU karena terindikasi melakukan kartel dalam penetapan tarif SMS.

Struktur pasar
Bagi ekonom, tingginya tarif adalah indikasi kegagalan pasar yang muncul akibat struktur pasar yang tidak kondusif. Dalam studi-studi kebijakan publik, khususnya pendekatan yang berbasis organisasi industri, setidaknya ada tiga aspek yang dapat dijadikan parameter untuk menilai apakah struktur pasar industri telekomunikasi dapat dikategorikan bersifat kondusif atau belum.

Pertama, konsentrasi pembeli. Secara kuantitatif, konsentrasi pembeli (pelanggan) tampaknya sudah kondusif yang ditandai dengan jumlah pengguna dan laba yang diraup tiap operator meningkat setiap tahunnya, walapun peningkatan ini masih didominasi Telkomsel, Indosat, dan Exelcomindo. Peningkatan jumlah pengguna dan laba ini merupakan fenomena kondusifnya struktur pasar yang dikarenakan tiap berlomba “mengeksploitasi” skala ekonomi dan potensi lain yang dimilikinya.

Kedua, hambatan bagi masuknya pemain baru di pasar (barrier to entry/BR). Munculnya BR dapat terjadi secara alamiah dan melalui intervensi. Di era monopoli, operator incumbent senantiasa menciptakan BR dengan “memanfaatkan” pemerintah lewat intervensi kebijakan. Akibatnya, terjadi dead weight loss yang berakibat merugikan konsumen --karena dikenakan tarif tinggi dengan kualitas layanan rendah-- dan menghambat perkembangan sektor telekomunikasi.

Sebaliknya di era kompetisi seperti saat ini, hadirnya BR merupakan konsekuensi logis seleksi alam dan bukan karena intervensi kebijakan pemerintah. Artinya, keberadaan operator di pasar ditentukan kemampuannya bersaing dengan operator kompetitor --lewat penawaran tarif yang rendah dengan beragam layanan yang berkualitas-- sehingga mengakibatkan kondusifnya struktur pasar.

Ketiga, konsentrasi penjual. Dari sisi konsentrasi penjual, struktur pasar industri telekomunikasi di Indonesia boleh dikata sudah kondusif dengan beroperasinya delapan operator. Pasalnya, kehadiran delapan operator itu menunjukkan ketatnya tingkat persaingan antar operator.
Perilaku pasar
Secara struktural, banyaknya operator yang beroperasi di pasar dan tingginya tingkat persaingan seharusnya memicu tiap operator berlomba memberikan peningkatan kualitas layanan dan menawarkan penurunan tarif komunikasi. Ironisnya, yang terjadi justru kecenderungan tingginya tarif dan penurunan kualitas layanan. Terbukti dengan masih tingginya tarif percakapan selular dan SMS, khususnya tarif antar operator (off net).

Kecenderungan tersebut merupakan salah satu bentuk anomali pasar yang dipengaruhi oleh perilaku pasar para operator yang “bermain” melalui price setting policy yang tidak wajar. Perilaku itu bisa berupa kolusi “diam-diam” (tacit collucion) maupun penetapan harga (price fixing). Kedua jenis perilaku ini sulit dibuktikan secara yuridis, karena lazimnya dipraktekkan berdasarkan kesepakatan antar perusahaan (operator) tanpa dilandasi perjanjian resmi. Penurunan kualitas layanan --yang terlihat dari tingginya keluhan dalam hal sulit tersambung dan sambungan terputus, utamanya percakapan yang menggunakan teknologi fixed wireless acces, serta pemotongan pulsa tanpa sepengatahuan pengguna misalnya-- juga merefleksikan perilaku pasar yang tidak kondusif. Fenomena ini terjadi karena quality control policy beberapa operator tidak berjalan semestinya.

Perilaku pasar lainnya yang tidak bersifat kondusif ialah kecenderungan operator berpromosi secara tidak transparan dan cenderung “membodohi” pelanggan. Dalam arti, apa yang dipromosikan operator tak sesuai dengan isi yang dijanjikan didalam promosinya.

Kinerja pasar
Berbagai perilaku buruk yang dipraktekkan operator telah menurunkan kinerja pasar. Penurunan setidaknya terlihat dari penggunaan sumber daya secara tidak efisien dan tidak sesuai dengan kapasitas yang tersedia, serta melambatnya akselerasi pertumbuhan industri. Secara hand in hand, berbagai faktor yang mempengaruhi penurunan kinerja pasar ini pada akhirnya berdampak mengurangi ekspansi jaringan secara nasional.

Penurunan kinerja pasar yang dipicu perilaku buruk operator ini harus diberikan sanksi hukum. Alasannya, karena perilaku itu “melabrak” aturan dan norma-norma bisnis maupun hukum yang berlaku, sebagaimana diatur dalam UU No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Selain itu, juga berdampak menghambat pertumbuhan sektor telekomunikasi dan merugikan konsumen, sehingga secara yuridis melanggar hakekat dan tujuan UU No.36/1999 tentang Telekomunikasi dan UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Secara fungsional, pemberian sanksi hukum ini setidaknya berdampak ganda. Disatu sisi dapat memulihkan, minimal mengurangi, perilaku buruk tiap operator telekomunikasi dan mencegah terjadinya praktik monopoli serta persaingan usaha yang tidak sehat antara para penyelenggara telekomunikasi. Di sisi lain, juga berpotensi meningkatkan kualitas dan menurunkan tarif layanan, sehingga pada gilirannya konsumen tidak mempersoalkan lagi tarif yang ditetapkan operator. (Abdul Salam Taba - Alumnus School of Economics the University of Newcastle, Australia)

4 Jan 2010

Jaringan Komunikasi Alternatif Saat Bencana




















Kian maraknya bencana yang menimpa Tanah Air, semestinya dapat memicu inovasi dan penerapan teknologi jaringan komunikasi alternatif


Berkaca dari setiap datangnya musibah bencana alam, mulai dari banjir, gempa bumi dan tsunami, kerap membuat sistem jaringan komunikasi telepon kabel dan telepon selular lumpuh, entah disebabkan jaringan infrastruktur operator ikut hancur atau infrastruktur operator yang kehilangan energi akibat putusnya aliran listrik. Hal ini tentunya harus diantisipasi, mengingat bencana di masa mendatang akan terus mengincar dan komunikasi selular kian menjadi sesuatu yang esensial, apalagi kala musibah datang justru lonjakan trafik akan meningkat tajam.

Di negara indutri maju, beragam inovasi teknologi jaringan disiapkan untuk menghadapi pra dan pasca bencana datang, tak sekedar berbasis voice dan SMS, akses internet juga mutlak diperlukan. Beberapa sudah berhasil di implementasi, sebagian lainnya masih berupa konsep yang masih perlu di uji lebih lanjut. Untuk Indonesia, inisiatif operator untuk membangun BTS dengan tenaga alternatif patut didorong lebih lanjut, paling tidak untuk mengurangi ketergantungan 100 persen pada pasokan listrik PLN dan solar untuk genset. (Haryo Adjie Nogo Seno)

WiFi Berjangkauan 100 Km



Saat ini WiFi menjadi bagian penting dari fitur komunikasi data di ponsel dan laptop, saat bencana datang, WiFi juga mutlak diperlukan, seperti digunakan untuk komunikasi para relawan di Padang. Namun WiFi terkendala jangkauan akses, untuk itu Intel membuat besutan teknologi baru, yakni WiFi berjangkauan jarak jauh yang sinyalnya bisa’ditembakkan’ sampai jarak 100 Km. Solusi Intel ini disebut RCP (rural connectivity platform), idenya dirancang untuk memenuhi kebutuhan akses internet yang murah bagi negara berkembang, RCP menghubungkan antara urban ke rural area.

Cara kerjanya tarbagi dua, yakni basic configuration dan extended configuration. Perangkat yang diperlukan untuk RCP mencakup single board computer dengan embedded prosesor Intel IXP425, compact flash storage, 10/100 ethernet port dan lokal WiFi untuk akses ke perangkat klien. Antena bisa memanfaatka jenis yang sudah ada. Keseluruhan perangkat beroperasi dengan pasokan tenaga dibawah 6 watt. RCP telah diuji coba di India, Vietnam, Panama dan Afrika Selatan. Di Berkeley Research Lab – California, RCP bisa menyalurkan video streaming dengan frekuensi 5,8Ghz pada jarak 1,5 mil. Dalam release disebutkan RCP bisa dikebut untuk akses hingga 6,5 Mbps.

10 Kilo Phone GSM Network
10 Kilo Phone GSM Network merupakan perangkat yang dikembangkan oleh para peneliti di Eropa yang tergabung di WISECOM (Wireless Infra Structure over Satelite for Emergency COMmunication). Perangkat ini memungkinkan petugas penyelamat membuat jaringan untuk suara maupun data dengan memanfaatkan satelit. Dengan catatan, jaringan yang dibuat hanya dapat bertahan untuk sementara waktu.

Pola kerja perangkat ini yakni dengan terhubung ke satelit terlebih dahulu, baru setelah itu terkoneksi dengan jaringan telpon bergerak maupun tetap. WISECOM menghadirkan dua perangkat dengan fungsi sama, namun menggunakan dua teknologi satelit berbeda. Yakni teknologi Inmarsat BGAN (Broadband Global Area Network) dan DVB-RCS (Return Channel via Satellite). Perangkat yang bekerja dengan BGAN berukuran kecil dan beratnya 10 kg. Sedangkan yang menggunakan teknologi DVB RCS beratnya 60 kg. Keduanya terintegrasi dengan jaringan GSM serta memiliki koneksi Wi-Fi. Versi BGAN terintegrasi dengan GSM picocell, yakni bagian kecil dari elemen BSS (base station subsystem) GSM yang bisa terkoneksi dengan telepon umum via internet, dengan picocell hingga radius 300 meter bisa dicakup untuk komunikasi selular. Sementara, perangkat dengan DVB-RCS terintegrasi dengan GSM microcell, yang punya cakupan serta bandwidth lebih luas dibanding versi BGAN

Robot Helikopter dengan Akses WiFi

Robot ini mengemban tugas sebagai hotspot darurat yang melayani area bencana secara remote. Oleh pembuatnya, heli ini disebut sebagai quadcopter yang memiliki empat baling-baling. Dukungan sistem komunikasi di heli ini mencakup VIA’s pico ITX hardware dan satu unit penerima sinyal GPS. Dengan dukungan akses WiFi, heli ini dapat mendukung komunikasi data bagi beberapa terminal berkemampuan WiFi, sudah tentu diantaranya ponsel. Dalam sebuah ujicoba, heli ini hanya mampu terbang selama 20 menit. Heli WiFi ini pertama kali diperlihatkan dalam ajang CeBIT 2009 di Hanover, Jerman awal Maret lalu. Robot ini dalam tahap pengembangan oleh peneliti dari Germany's Ilmenau University of Technology.

Terranet


Tanpa dukungan dari jaringan operator selular, pengguna ponsel bisa bercakap-cakap. Inilah teknologi dari Terranet yang mengusung kemampuan sistem teknologi peer to peer dalam satu komunitas dan berjalan tanpa dukungan base station. Komunikasi bisa dilakukan dalam cakupan area 1 sampai 2 Km, bergantung pada penggunaan frekuensi. Berbeda dengan sistem HT (handy talkie), coverage area bisa semakin jauh, sebab Teranet memanfaatkan ponsel lain untuk menjalankan fungsi sebagai sebuah BTS, atau pada sistem mesh WiFi, node untuk mengandalkan sebuah hotspot. Dalam skenario ini peran node bisa dipikul dari sebuah ponsel.
Tapi untuk menikmati Terranet diperlukan ponsel berkemampuan khusus. Vendor Sony Ericsson sempat diberitakan tertarik untuk mengembangkan ponsel dengan teknologi ini, dimana ponsel akan dijual untuk kelas entry level seharga 50 Dollar AS. Teknologi asal Swedia ini kabarnya tengah di uji coba di kawasan Amerika Selatan.

Prediksi Banjir Lewat Menara BTS


Berangkat dari kasus bencana alam di New Orleans, dua peneliti dari TAU (Tel Aviv University), Israel – profesor Pinhas Alpert dan Hagit Messer Yaron – menciptakan model teknologi baru untuk memprediksi datangnya banjir bandang. Teknologi yang dipilih memanfaatkan keberadaan menara BTS operator. Cara kerja teknologi ini terbilang tak terlalu rumit, seperti diketahui kualitas sinyal selular umumnya menurun bila cuaca sedang hujan. Berangkat dari fenomena diatas, dimanfaatkan kedua peneliti TAU untuk mengukur kekuatan pancaran gelombang radio lewat efek embun di udara. Perubahan kekuatan gelombang radio itu yang lalu dimanfaatkan sebagai bahan analisa datangnya banjir. Solusi dari TAU ini memang belum diaplikasikan oleh operator selular, baik di Amerika Serikat sekalipun. Tapi dengan tawaran biaya operasi yang murah, bukan tak mungkin teknologi prediksi bencana ini dapat dilirik dimasa mendatang.